Welcome

News Industri Indonesia

Jumat, 29 Juli 2011

Bagaimana seharusnya Kebijakan dan Politik Pemerintah dalam industri otomotif

Bangkitnya industri otomotif China mulai bisa kita rasakan saat ini. Beberapa merk sedan, SUV dan truk mulai tampak di jalan. Bukan hanya di Indonesia, mungkin saat ini sudah lebih dari 6 merk sudah masuk pasar Amerika Serikat. Dilihat dari volumenya, diam-diam China sudah menjadi pasar otomotif terbesar di dunia yang menembu angka 10 juta sales pertahun. Bila dilihat sejarahnya, China membina industri otomotif mulai dari kendaraan untuk militer dan pertanian. Knowhow untuk pengembangan produk, terutama industri parts, sudah mapan sejak tahun lima-puluhan. Engine, axle, transmission sudah biasa mereka design dan produksi. Maka tidak mengherankan bila pada awal tahun 90an ada lebih dari 200 merk mobil di China, merk asing dan merk lokal. Maka melihat ketidak-effisienan ini, pemerintah China berusaha melakukan program rasionalisasi. Regrouping, industri otomotif dihimbau untuk merger dan penataan ulang perizinan. Modal dan teknologi kuat dari luar diundang untuk menjadi katalisator proses rasionalisasi ini. Jumlah merk ingin dikurangi, harapannya akan tercapai volume yang lebih ekonomis untuk berkembang wajar. Dalam rencana pembangunan strategis China saat itu, Industri otomotif secara explisit dijadikan pilar pertumbuhan industri dengan penjabaran yang detail untuk pengelolaan dan penunjukan pihak-pihak yang in charge secara jelas.

Kembali ke situasi saat ini di negeri kita. Sebagai orang awam, kita mendengar kebijakan prioritas kita bukan Mobil Nasional, tetapi mobil murah. Mobil murah itu bisa siapa saja yang mewujudkan. Bisa juga merk yang dimiliki oleh orang luar tetapi beroperasi di Indonesia. Yang penting ada kegiatan ekonomi, ada lapangan kerja, ada komponen lokal yang melibatkan sebanyak-banyaknya orang Indonesia. Fokusnya di pengembangan komponen lokal, sehingga substitusi import bisa terjadi dengan sendirinya bila komponen lokal mampu bersaing secara Quality, Cost, Delivery dan aspek lainnya seperti Technology, Morale, Services dll.

Tetapi jangan lupa bahwa pemilik merk mobil hanya mau bekerja sama dengan pihak yang mampu memberi input teknologi lebih kepada mereka. Hanya yang memiliki kemampuan development yang masuk hitungan mereka. Mereka hanya mau berurusan dengan supplier yang punya teknologi agar bisa mengandalkan supplier mengambil porsi lebih besar dalam membangun nilai tambah bagi bisnis mereka. Suatu bentuk risk sharing yang cerdik.

Bukan hanya sekadar cost yang lebih murah untuk sasaran jangka pendek, tetapi mereka lebih membutuhkan dukungan supplier yang mampu memberikan Competitive Advantage untuk persaingan jangka panjang.

Sehingga kembali suppier yang hanya bisa meniru bentuk tidak akan mampu bersaing dan ditinggalkan oleh pemilik merk luar. Sehngga, kembali, tanpa lokomotif yang menarik supplier itu untuk maju bersama, kita akan selalu ketinggalan. Akibatnya, first tier industri supplier kita dikuasai oleh pihak asing, terutama Jepang. Supplier lokal kebanyakan hanya menjadi second tier denganprofit yang terukur, dicatu sehingga mereka tidak mampu bekembang dari hasil profit.

Pada perioda tahun 70 an sampai awal 90an, keterlibatan pemerintah kita dominan untuk mengarahkan perkembangan industri otomotif. Mulai dari pemilihan prioritas pengembangan untuk kendaraan niaga dengan insentif bea masuk nol, target local content dan lain-lain sampai dengan konsep Kendaraan Bermotor Niaga Sederhana yang didukung untuk dikembangkan.

Konsepsi strategis seperti itu saat ini kurang terdiseminasi ke lapangan, sehingga masing-masing unit industri sibuk sendiri-sendiri dan sinergi hanya terjadi di dalam kerjasama di dalam program suatu merk. Padahal pelajaran harus diambil dengan melihat apa yang terjadi Thailand saat ini, dimana merk-merk yang tadinya merasa mapan dengan strategi pemindahan basis industri ke Thailand mulai berfikir ulang untuk invest di tempat lain. Ternyata nothing lasts forever, secara alami perubahan terus terjadi. Pola migrasi industri textile jangan-jangan terulang kembali. Atas nama cost benefit, industri otomotif berpindah lokasi meninggalkan aset usang yang segera akan menjadi tidak berguna setelah ada perkembangan teknologi baru. Pada saat itu terjadi, mampukah kita memanfaatkan aset yang tinggal, baik itu aset tetap maupun spirit, knowhow dan kompetensi pelaku industri untuk persaingan dikemudian hari? Bukankah kita harus belajar dari pengalaman dengan industri textile, microchip dan industri sepatu dulu?

Langkah antisipatif China untuk menguasai pasar baja dunia di 20 tahun ke depan akan membawa kemampuan saing mereka di indusri otomotif semakin tinggi di masa dekat ini. Strategi Jepang untuk menguasai pasar jasa logistik dunia diyakini dapat membantu mereka survive pada saat industri manufaktur mereka mendapatkan saingan yang lebih berat. Langkah strategis seperti ini diperlukan bila kita ingin melindungi kepentingan kita di masa depan.

Ada adagium pengembangan diri yang dapat diterapkan untuk situasi ini, bila kita tidak ambil tanggung jawabnya (to be responsible), kita akan jadi mangsa (victim) orang lain. Kadang-kadang ini tidak bisa jadi pilihan. Ini keharusan bila dilihat dari konteks persaingan global.

Selain upaya membuat tamu kita industri dari luar tetap betah tinggal di Indonesia selama mungkin, kebijakan industri otomotif harus tegas menampilkan harapan kita, membela kepentingan nasional. Memperkuat kemampuan negosiasi dan membentuk dasar legislasi yang kondusif untuk pengembangan daya saing industri lokal. Memperkuat kemampuan bersaing industri domestik tanpa mencederai prinsip perdagangan bebas, misalnya dengan kombinasi kebijakan-kebijakan sebagai berikut:

1. Mengendalikan pasar, seperti di India di masa lalu yang menahan pertumbuhan pengembangan produk baru. Bila pemerintah dapat mengarahkan pasar dengan aturan-aturan agar tetap menerima existing product untuk memperpanjang life cycle atau menghambat pembelian mobil baru, maka volume ekonomis akan tercapai dan investasi menjadi lebih efisien. Resikonya produknya akan tampak usang, bila dibandingkan dengan perkembangan produk di luar negeri. Seperti model mobil Ambassador di India yang tidak berubah sejak tahun 60 an sampai awal tahun 2000an, tetapi tetap dipakai sebagai mobil menterinya sampai akhir tahun 90an.

Memperbesar pasar di dalam negeri, membuka order pembelian pemeintah, memperbaiki infra struktur, merangsang pertumbuhan ekonomi, hingga ke meningkatkan daya beli.

Bahkan VW Beetle pun dipromosikan oleh Hitler untuk pemakaian pegawai negeri dengan fasiltas kredit di Jerman di masa perkembangannya dulu.

2. Mendorong industri agar lebih pintar belajar. Memberi insentif yang memberi peluang kepada industri untuk mampu mengembangkan sendiri teknologi yang sudah terkuasai, agar tetap mampu diterapkan untuk menghadapi persaingan pasar yang berkembang terus. Investasi akan intensif, produk berkembang terus sederap dengan perubahan pasar dan teknologi terus berkembang di depan merangsang perkembangan itu.

Tanpa input guidance langsung dari luar, industri otomotif harus mampu mengembangkan standard teknologi saat ini sebagai modal untuk beranjak ke standard yang lebih maju dengan belajar dari operasi sehari-hari.

Hal ini dilakukan oleh Tianjin otomotof industri di China yang 8 tahun berkembang dibawah nama Daihatsu, tetapi kemudian berdiri sendiri terlepas dari Daihatsu dengan merk sendiri. Atau seperti TATA yang semula dibesarkan dengan share kepemilikan dari Daimler, tetapi kemudian melepaskan diri. Hal ini juga dilakukan oleh Daewoo dengan GM. Spin Off ini tidak selalu disertai dengan hard feeling. Saat ini Daewoo masih bekerja sama dengan GM, TATA bekerjasama dengan Daimler. Begitu juga kerja sama antara Tianjin dengan Daihatsu. Atau Kwang Yang Motorcycle Company (Kymco) di sepeda motor yang awalnya berkembang dengan Honda di Taiwan. Kelihatannya semua pihak dapat mempertemukan semua kepentingannya secara win-win dengan pemerintah sebagai katalisatornya. Negosiasi seperti ini yang tidak dapat kita menangkan ketika Honda motor mengancam pisah dari Astra, bila Astra tetap melanjutkan proyek sepeda motor Indonesia, yang prototype type Expresa-nya dicoba oleh pak Harto keliling istana. Akhirnya proyek sepeda motor itu dihentikan dan keluar dari Astra, mungkin karena tidak cukup keterlibatan dari pemerintah untuk itu.

3. Masuk dengan strategi Blue Ocean. Menciptakan iklim untuk prioritaskan produk-produk yang tidak frontal bersaing di pasar yang terlalu ramai. Seperti contoh industri otomotif China yang masuk di pasar kendaraan militer dan kendaraan pertanian. Di sektor ini perkembangan feature produk tidak dominan menentukan sukses pemasaran.

Arah pengembangan kembali ke kendaraan niaga sebagai prioritas, kendaraan truk pertanian, kendaraan pertambangan, kendaraan perang, traktor, alat berat dan sebagainya dirangsang agar dapat tumbuh berkembang. Kembangkan kompetensinya dulu dengan produk dengan profitability tinggi walaupun volume rendah, baru kemudian volume di dapat dengan masuk ke produk yang main omzet tinggi dengan profit lebih rendah.

Seperti TATA yang mulai dengan pembuatan lokomotif 70 tahun yang lalu, kemudian beranjak ke truk, pick up dan bus sebelum masuk ke kendaraan sedan.

Pemerintah harus menyediakan opportunity market untuk infant industry seperti ini, agar pada saatnya industri otomotif dapat menjadi lokomotif penarik kemajuan industri.

4. Menciptakan aturan yang mendorong pengembangan industri hulu dan industri penunjang. Dari awal pengembangannya industri otomotif Indonesian dimaksudkan untuk dimulai dari hilirnya untuk dikembangkan ke hulu. Dari proses assembling untuk kemudian ditindak lanjuti ke kemampuan manufacturing. Mulai dari kemampuan pembuatan ke kemampuan design. Dari komponen dikembangkan ke kemampuan pembuatan materialnya. Sehingga tercipta struktur industri yang lengkap untuk memberi sumbangan maksimal penambahan nilai lokal dalam industri otomotif.

Sudah saatnya keinginan ini diterapkan dengan peraturan strategis yang mendorong pengembangan industri hulu seperti industri material dan industri peralatan permesinan sebagai industri penunjang. Perlu diaudit kembali status pencapaian saat ini. Struktur industri yang masih kosong harus dapat dipenuhi. Untuk melengkapi, yang tidak diperoleh secara gratis, harus kita beli.

Aturan dengan keberpihakan yang jelas untuk mempertinggi kemampuan lokal dibandingkan terhadap cost yang belum tentu lebih rendah. Sehinga integrasi dari semua upaya ini seharusnya dimulai dari satu program bersama yang dapat diwadahi oleh Mobil Nasional.

Kekayaan sumber daya alam lokal belum menjadi competitive advantage karena tidak siapnya broad base industri pemanfaatannya. Seperti juga komoditi sawit, kayu, karet, dan sebagainya, industri metal tidak diikuti oleh perkembangan yang serius untuk pemanfaatannya. Sehingga siklusnya terputus dan kita tetap rendah dalam daya saing.

5. Pemerintah harus mampu memanfaatkan aset nasional yang sudah tertanam dalam proyek-proyek Mobil Nasional terdahulu. Secara nasional, ada potensi yang idle tidak perform. Restrukturisasi penyelesaian masalah finansial sebaiknya dibantu oleh komitment pemerintah untuk dapat kembali bermanfaat. Siapa tahu dengan sedikit pengaturan, asetnya dapat kembali bermanfaat. Asset bekas Timor, asset Perkasa dll harus bisa dimanfaatkan.

Kembali ke contoh VW Beetle, bukan Hitler yang membawa kesuksesan bisnis VW. Setelah perang dunia II fasilitas pabrik VW di Wolfsburg hancur total. Angkatan Udara Inggeris yang ditugasi membenahi aset itu menunjuk Heinrich Nordhoff yang memulai segalanya dari nol. Dengan kegigihan, kerja keras dan ketekunannya ia meletakkan dasar sehingga VW Beetle berhasil diproduksi sebanyak 16,255,500 buah selama lebih dari 30 tahun.
(Gudang Virtual)

Tidak ada komentar: