Welcome

News Industri Indonesia

Minggu, 08 Februari 2015

PT PRN, Produsen Mesin Perkakas dan Komponen


Industri mesin perkakas dan Komponennya di dalam negeri sampai saat ini masih termasuk industri yang terhitung jarang dan langka. Apalagi industri yang mampu memasok mesin-mesin perkakas berikut komponennya yang handal dan dapat diterima pasar di dalam negeri dan mancanegara termasuk kalangan industri besar berkaliber internasional. Tidak hanya itu, seperti industri lainnya yang kini makin banyak mendapatkan tuntutan pasar, industri mesin perkakas dan komponennya juga harus memiliki wawasan lingkungan yang baik.

Semua kriteria itu telah mampu dipenuhi oleh PT Perkakas Rekadaya Nusantara (PRN), sebuah industri mesin perkakas dan komponen berskala menengah yang mengambil lokasi di sebuah desa yang cukup terpencil dan memiliki topografi berbukit-bukit di wilayah Kabupaten Subang, Jawa Barat.



Dengan lokasinya yang cukup terpencil itu, PT PRN tidak hanya mampu memberikan suasana kerja yang sangat mendukung penciptaan produktivitas yang tinggi bagi karyawan, tetapi juga mampu meredam dampak negatif terhadap lingkungan secara optimal. Seluruh limbah cair maupun padat (limbah yang dihasilkan umumnya berupa limbah padat, karena PT PRN sendiri sangat sedikit menggunakan material berupa cairan) mendapat penanganan secara baik dan sesuai dengan prosedur yang berlaku bagi sebuah industri berkategori ramah lingkungan.

Walaupun PT PRN merupakan perusahaan swasta murni berbasis perusahaan keluarga, namun perusahaan tersebut dapat berkembang menjadi sebuah perusahaan handal karena dikelola secara profesional. Para tenaga ahli yang sebagian diantaranya merupakan para tenaga ahli mantan karyawan PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) Bandung kini berhasil mengembangkan produk-produk mesin perkakas untuk tujuan khusus (Special Purpose Machinery) yang banyak dipakai oleh sejumlah industri manufaktur skala besar di tanah air maupun di berbagai negara.

Perusahaan tersebut tercatat telah memasok sejumlah mesin khusus (Special Machine) kepada PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMI). Mesin-mesin khusus produksi PT PRN itu kini dipergunakan PT TMMI untuk memproduksi mesin mobil Kijang Innova.

“Sejak pertama kali berdiri pada tanggal 5 Mei 1999, PT PRN sampai saat ini sudah memasok lebih dari 20 mesin khusus untuk kegiatan produksi mesin mobil Kijang Innova kepada PT TMMI,” kata Ali A. Nasution, Direktur Komersial PT PRN kepada tim majalah Kina yang berkunjung ke lokasi pabrik PT PRN di wilayah Subang, Jawa Barat.



Disamping memproduksi mesin perkakas untuk pembuatan mesin mobil Kijang Innova, PT PRN juga memproduksi mesin khusus untuk proses pembersihan blok mesin mobil dari sisa-sisa proses machining, untuk pemasangan retainer dan klep.

Selain itu, PT PRN juga memproduksi berbagai jenis mesin perkakas lainnya, baik untuk industri otomotif, industri agro, industri pengerjaan logam serta memproduksi berbagai jenis komponen logam untuk industri perakitan mobil, sepeda motor dan komponen untuk mesin perkakas lainnya.

Saat ini PT PRN mampu menyerap lebih dari 300 orang karyawan yang mana sekitar 85% dari karyawannya itu merupakan penduduk lokal di sekitar pabrik. Banyak diantara karyawan lokal itu hanya berpendidikan lulusan Sekolah Dasar (SD) yang kemudian dididik dan dilatih oleh PT PRN sendiri menjadi tenaga-tenaga yang terampil dan handal di dalam bidang pengerjaan logam dan pembuatan komponen berpresisi tinggi. Bahkan, banyak diantara karyawan PT PRN yang hanya berpendidikan lulusan SD tersebut kini mampu mengoperasikan mesin yang dioperasikan secara penuh melalui komputer (fully computerized).

“Mereka pada awalnya bekerja di PT PRN sebagai tukang bangunan, tukang sabit rumput dan pekerja kasar lainnya. Di PT PRN inilah mereka mendapatkan pendidikan dan pelatihan secara bertahap, mulai dari pengenalan disiplin kerja, cara memotong, membengkokan dan mengelas logam hingga mengoperasikan mesin berpresisi tinggi dan mesin-mesin CNC yang dikendalikan dengan komputer,” kata Ali.


Para karyawan yang kebanyakan berlatar belakang pendidikan rendah tersebut ternyata mampu dididik dan dilatih menjadi tenaga-tenaga kerja yang handal di bidangnya masing-masing. Hal itu ditunjukkan dengan kinerja mereka yang rata-rata cukup baik dan mampu menghasilkan produk akhir dengan kualitas yang memuaskan dan dengan tingkat reject yang sangat rendah.

Sejak tahun 2003, PT PRN mulai menerjuni bidang rekayasa (engineering) khususnya dalam melakukan rancang bangun mesin-mesin berteknologi mutakhir. Sampai saat ini, divisi engineering PT PRN telah berhasil memproduksi sekitar 70 jenis mesin perkakas yang desainnya dikembangkan sendiri oleh para tenaga ahli PT PRN.

Selain mengembangkan sendiri desaindesain mesin perkakas mutakhir, PT PRN juga menerima pesanan pembuatan mesin perkakas berikut komponen-komponen mesin perkakas tertentu dari para pemesan dari luar negeri. Salah satu perusahaan asing yang telah memesan pembuatan komponen tertentu kepada PT PRN diantaranya adalah Siemens AG dari Jerman yang memesan pembuatan casing generator dan blade turbin generator Siemens. Komponen generator tersebut dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan generator Siemens AG di China dan India.

Kemampuan PT PRN dalam memenuhi berbagai pesanan dari perusahaan-perusahaan asing maupun lokal tersebut juga tidak terlepas dari kemampuan sumber daya manusia berikut peralatan canggih yang dimiliki PT PRN. Selain didukung para tenaga ahli yang handal dan berpengalaman, PT PRN juga memiliki peralatan dan mesin kerja yang canggih berteknologi mutakhir seperti mesin pengukuran kordinat atau Coordinate Measuring Machine (CMM) yang sangat bermanfaat dalam mendukung kegiatan reverse engineering.

Sumber: http://arsipiptek.blogspot.com/2012/04/pt-prn-produsen-mesin-perkakas-dan.html

'Ahmadi Mesin' Untuk Membuat Mesin

Sudah bukan rahasia lagi apabila sebagian besar mesin yang dipergunakan di pabrik-pabrik di dalam negeri saat ini merupakan produk mesin impor buatan negara lain. Mesin-mesin tersebut diimpor karena di dalam negeri sendiri belum banyak industri yang mampu menghasilkan mesin-mesin proses maupun mesin perkakas yang handal dan berkualitas. Untuk importasi berbagai mesin produksi itu, setiap tahunnnya Indonesia terpaksa harus mengeluarkan devisa yang sangat besar. 

Menurut catatan Asosiasi Industri Mesin Perkakas Indonesia (ASIMPI), pada tahun 2007 saja Indonesia mengimpor berbagai jenis mesin dengan nilai tidak kurang dari Rp 24 triliun. Walaupun ekspor produk permesinan Indonesia sudah ada namun nilainya masih belum sebanding dengan nilai impornya. Pada tahun 2007 nilai ekspor produk permesinan Indonesia baru mencapai sekitar Rp 6 triliun.


Situasi seperti itu justru dinilai Dasep Ahmadi, CEO dan owner PT Sarimas Ahmadi Pratama (perusahaan yang bergerak di industri permesinan) yang juga menjadi Ketua ASIMPI, sebagai peluang pasar yang sangat besar bagi industri permesinan di dalam negeri. Bagi Dasep tingginya ketergantungan pasar domestik terhadap produk permesinan dari luar negeri merupakan prospek yang baik dan sangat menjanjikan bagi pengembangan industri permesinan di tanah air.

Pasar permesinan di dalam negeri yang sangat besar dan selama ini lebih banyak dimanfaatkan oleh para produsen permesinan dari luar negeri sebetulnya merupakan pasar yang captive bagi pengembangan industri permesinan nasional. Dengan hanya mengandalkan substitusi impor saja volume pasar domestik sudah cukup untuk menopang pengembangan industri permesinan nasional.

Keyakinan itulah yang membawa Dasep untuk terus berupaya mengembangkan industri permesinan di tanah air melalui PT Sarimas Ahmadi Pratamanya. Kini perusahaan tersebut sudah mampu memproduksi berbagai mesin proses atau mesin produksi, mesin khusus (special machine) maupun mesin perkakas atau mesin induk (mesin untuk memproduksi mesin).

Sudah sekitar tujuh tahun lamanya PT Sarimas Ahmadi Pratama yang dipimpin Dasep telah memproduksi berbagai jenis mesin tersebut dan sejak tahun 2008 perusahaan juga mulai mengembangkan mesin CNC (Computer Numerical Control), mesin yang dikontrol melalui sistem komputer.


Seluruh jenis mesin hasil rancang bangun (design & engineering) putera puteri Indonesia di PT Sarimas Ahmadi Pratama itu dipasarkan dengan menggunakan merek sendiri, merek Indonesia, yaitu `Ahmadi Mesin'. Kecintaan dan kebanggaan Dasep terhadap tanah airnya Indonesia dan ambisinya untuk membangun industri permesinan yang kuat dan handal di dalam negeri telah memberanikannya untuk memperkenalkan berbagai mesin hasil rancang bangunnya dengan merek sendiri `Ahmadi Mesin'. Walaupun merek mesin nasional selama ini belum dikenal, namun semangat nasionalismenya yang tinggi ditunjang dengan kemampuan teknologi yang handal telah memberinya keyakinan dan kepercayaan diri yang kuat untuk memperkenalkan merek sendiri.

Dengan menggunakan standar Japan Industrial kualitas produk permesinan PT Sarimas Ahmadi Pratama tidak kalah dibandingkan dengan produk sejenis dari negara lain. Bahkan, PT Sarimas Ahmadi Pratama kini telah menjadi perusahaan industri mesin terpadu yang bergerak bidang desain dan perekayasaan (product design, CAD-3D, Autocad 2D/3D, electric design dan programming), manufaktur (machining, fabrication, installation), instalasi dan jasa.

Beberapa industri di dalam negeri yang kini telah menggunakan mesin produksi PT Sarimas Ahmadi diantaranya PT Astra Daihatsu Motor (produsen mobil Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia), PT Faber Castell Indonesia, PT Procter and Gamble,PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, PT Yamaha Motor Manufacturing Indonesia, PT Yamaha Part Manufacturing Indonesia, PT Honda Prospect Motor, PT Kyowa Indonesia, PT Akasi Wahana Pertama Indonesia, PT Astra Otoparts dan lain-lain.

Sementara itu, perusahaan di luar negeri yang juga sudah menggunakan mesin buatan PT Sarimas Ahmadi Pratama diantaranya perusahaan otomotif Malaysia, yaitu Perodua Engine Manufacturing Sdn Bhd.
Dasep mencontohkan, kebutuhan mesin CNC untuk keperluan pendidikan di sekolah-sekolah kejuruan saja di tanah air setiap tahunnya mencapai sekitar 800 unit. Volume permintaan sebesar itu sudah cukup besar dan captive apabila bisa dimanfaatkan seluruhnya oleh industri
permesinan di dalam negeri. Dalam hal ini proyek-proyek pengadaan pemerintah untuk pembelian mesin CNC yang akan dipergunakan di sekolah-sekolah kejuruan seharusnya betul-betul dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu mengutamakan penggunaan produksi dalam negeri.

Menurut Dasep, penggunaan mesin-mesin produksi dalam negeri memiliki beberapa keuntungan yang tidak bisa diperoleh dari mesin-mesin impor. Pertama, harga mesin produksi dalam negeri umumnya lebih bersaing dengan kualitasnya yang tidak kalah dibandingkan dengan mesin impor. Kedua, jaminan layanan purna jual mesin-mesin buatan dalam negeri lebih terjamin dibandingkan dengan mesin-mesin impor. Bagi produk permesinan, factor layanan purna jual sangatlah penting karena mesin merupakan barang modal yang akan dipakai secara terus menerus dalam jangka waktu lama. Karena itu, layanan purna jual yang cepat, murah dan handal menjadi faktor kunci dalam pertimbangan pembelian mesin.

Dasep mengharapkan pemerintah bersama semua pemangku kepentingan industri di dalam negeri menerapkan sistem pengawasan melekat agar kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang sudah baik itu betul-betul dijalankan dengan benar dan konsisten serta betul-betul melibatkan para pelaku industri di dalam negeri dalam pemenuhannya."

Kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah yang kini kembali dipertegas dengan terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2009 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berikut peraturan perundang-undangan pelaksana lainnya harus dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Sebab, penerapan kebijakan tersebut secara konsisten dan konsekuen akan mendukung pertumbuhan industri nasional, menyerap tenaga kerja dan meningkatkan nilai tambah di dalam negeri," tutur lulusan Teknik Mesin ITB tahun 1990 ini.

Pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat ini sewaktu masih menjadi mahasiswa pada tahun 1987 sempat meraih juara nasional dalam pembuatan robot.
Usai menamatkan studinya di ITB tahun 1990 langsung bekerja di perusahaan BUMN, PT Pindad di Bandung (1990-1992), kemudian bekerja di PT Astra International (1992-1994) dan sempat belajar dalam bidang permesinan di Jerman atas beasiswa dari Astra (1993-1994). Pada tahun 1994 bergabung dengan PT Astra Daihatsu Motor dengan bidang yang masih sama, yaitu menangani mesin. Pada tahun 1998, Dasep mengundurkan diri dari PT Astra Daihatsu Motor untuk mendirikan perusahaan sendiri CV Sarimas yang kini berubah menjadi PT Sarimas Ahmadi Pratama.

(PPI2009 Deperin.go.id)

Sumber: http://arsipiptek.blogspot.com/2011/03/membuat-mesin-untuk-pembuat-mesin.html

Perkembangan Texmaco Perkasa Engineering (TPE)

C. Masa Memproduksi Mesin Tekstil Texmaco dan 'Creative Imitation' (1985-1990)

Sejak tahun 1979 sebagaimana telah dijelaskan di bagian sebelumnya, TPE bertanggung jawab bukan hanya dalam hal perawatan, perbaikan, dan pembuatan spare parts dari shuttle looms tetapi juga terhadap perawatan dan perbaikan spare parts dari rapier looms yang diimpor dari Belgia (Picanol). TPE selama proses ini telah mampu memiliki dan mengakumulasikan ilmu pengetahuan dan pengalaman serta berbagai keahlian tentang rapier looms. Teknisi-teknisi TPE sebagai contoh, mampu mengenali perbedaan kualitas dan kecepatan antara komponen-komponen shuttle looms dan rapier looms, dan ini merupakan tacit knowledge yang terinternalisasi dengan baik. Mereka juga sudah mampu mengenali faktor apa saja yang membuat rapier looms lebih powerful dalam hal kualitas dan kecepatan dibandingkan dengan shuttle looms.

Selama proses pengoperasian, perawatan dan perbaikan rapier looms, teknisi TPE menyadari bahwa dengan menggunakan perkakas dan peralatan yang telah tersedia di TPE beberapa komponen rapier looms sebenarnya sudah dapat dibuat di TPE. Akan tetapi untuk membuat keseluruhan rapier looms utuh seperti Picanol memang belum memungkinkan. Para teknisi TPE menyadari keterbatasan peralatan yang mereka miliki. Tetapi karena TPE telah berhasil membuat shuttle looms, mereka kemudian berpikir mengapa tidak mencoba untuk memodifikasi shuttle looms Texmaco dengan beberapa spare parts dari rapier looms yang sudah bisa dibuat di TPE?


Pada tahun 1986 langkah terobosan untuk melakukan modifikasi dimulai. Beberapa spare part dari rapier looms yang sudah berhasil di produksi di TPE dipasang di shuttle looms Texmaco. Hasilnya TPE kini mampu menciptakan mesin tekstil yang kualitas dan kecepatannya lebih baik dari shuttle looms tetapi masih belum sebaik kualitas dan kecepatan dari rapier looms. Eksperimen ini ternyata cukup sukses dan semakin menambah percaya diri para teknisi TPE yang terus mencoba dan memodifikasi model mesin baru made in Texmaco ini. Selama proses modifikasi ini Picanol digunakan sebagai benchmark. Dan ketika TJ membuka pabrik tekstil baru di Cakung (Jakarta) pada 1987, sekitar 50 dari mesin modifikasi baru ini dipasang di lokasi baru tersebut. Patut pula dicatat bahwa pabrik tekstil di Cakung tersebut dibuka oleh Presiden Soeharto. Tentu ini punya arti banyak di negara berkembang seperti negara kita.

Tahun 1987 merupakan masa yang sangat menantang bagi TJ dan TPE. Jatuhnya harga minyak dan berbagai komoditas andalan yang lain selama periode 1982-1986 memaksa pemerintah mengubah strategi industrialisasinya dari subsitusi impor menjadi strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor. Perubahan ini tentu saja punya banyak implikasi kepada industri tekstil yang selama ini telah menjadi primadona dalam menopang industrialisasi Indonesia. Sejak tahun 1980-an tekstil memang telah menjadi komoditas yang begitu penting dalam menunjang ekspor Indonesia. Perubahan orientasi strategi industrialisasi Indonesia yang lebih berorientasi ekspor menyebabkan semakin banyak insentif diberikan kepada industri tekstil untuk terus meningkatkan volume produksinya demi mencapai target ekspor yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Karena pasar ekspor lebih demanding terhadap kualitas, delivery time dan harga, maka para industrialist di industri tekstil harus berbenah. Salah satu hal penting yang harus dilakukan oleh para industrialist ini adalah mengganti semua mesin yang telah usang dengan mesin yang lebih canggih dan modern untuk mencapai standar yang diinginkan oleh konsumen di negara-negara tujuan ekspor. Modernisasi mesin ini juga penting untuk meningkatkan daya saing produk tekstil Indonesia guna dapat bersaing dengan komoditas tekstil dari negara-negara Asia lainnya di pasar internasional.

Lingkungan internal Grup Texmaco pun begitu dinamis dan mendorong berbagai perubahan sebagai sebuah grup bisnis. Tahun 1987 misalnya, TTS �perusahaan kimia, -telah mampu mengembangkan polymer chips, yaitu bahan baku untuk membuat benang. Kemampuan TTS dalam mengembangkan polymer chips ini mau tidak mau memaksa TJ untuk berbenah untuk meningkatkan volume dan kualitas produksinya. Texmaco Jaya kini tak lagi punya delay time untuk menunggu bahan baku impor, karena kini telah mampu dikembangkan sendiri di TTS. Terlihat sekali di sini, bahwa sebuah keberhasilan inovasi ternyata tak hadir dalam sebuah kevakuman. Terobosan inovasi teknologi di TTS ternyata merangsang dan mendorong perusahaan lain dari Texmaco Grup, seperti TJ dan TPE untuk merespon, berubah dan kemudian tumbuh berkembang.

Sebagai respon terhadap dinamika lingkungan eksternal dan internal, pada akhir 1987, Mr Sinivasan dan tim kecil TPE menghadiri pameran mesin tekstil di Hannover (Jerman) untuk melihat state of the arts dari mesin-mesin tekstil. Di pameran tekstil tersebut Mr Sinivasan dan tim tertarik dengan sebuah rapier looms buatan Pignon (Italia) yang kebetulan dipamerkan secara 'telanjang'. Rapier looms buatan Italia ini bentuknya ternyata lebih sederhana dibandingkan dengan rapier looms buatan Picanol (Belgia) yang selama ini sudah dimiliki oleh Texmaco. Karena yakin dengan kemampuan teknologi yang dimiliki, Mr Sinivasan sebagai pimpinan TPE menantang para teknisi TPE untuk membuat mesin serupa dengan Pignon ini. Dan setelah mengamati rapier looms Italia ini secara detil, para teknisi TPE yakin bahwa dengan berbagai alat dan fasilitas yang sudah ada di Texmaco mereka sebenarnya sudah bisa menciptakan rapier looms serupa Pignon. Di pameran tersebut terjadi dialog panjang dan cukup detil antara teknisi Pignon dan teknisi TPE. Dari dialog ini, tim TPE semakin yakin bahwa mereka sebentar lagi mereka sudah mampu memproduksi rapier looms sendiri. Mr Sinivasan kemudian mengutarakan niatnya untuk membeli rapier looms buatan Pignon. Pignon kemudian mengundang Mr Sinivasan atau teknisi TPE untuk datang ke Italia, mengunjungi pabrik Pignon untuk menyaksikan bagaimana rapier looms tersebut secara langsung dibuat di sana.

Pada awal tahun 1988, TPE mengirim 3 teknisinya ke Pabrik Pignon di Italia. Di sana mereka ditunjukkan tentang bagaimana rapier looms serta komponen-komponennya dirancang dan diproduksi. Selama dua minggu teknisi-teknisi TPE berada di Pignon mengamati, mengeksplorasi berbagai hal yang berkaitan dengan rapier looms Pignon. Diskusi formal dan informal dilakukan teknisi TPE dan para teknisi Pignon tentang berbagai spesifikasi mesin dan komponen Pignon. Bahkan saking bersemangatnya para teknisi TPE sering menghabiskan malam-malam mereka berdiskusi panjang lebar di hotel tentang kemungkinan memproduksi mesin serupa Pignon di pabrik mereka di Texmaco. Dan seperti yang telah mereka perkirakan semula, sesungguhnya dengan alat dan fasilitas yang ada di Texmaco TPE sudah mempunyai kemampuan teknologi untuk memproduksi rapier looms..

Semua hasil pengamatan, pembelajaran dan pengalaman para teknisi TPE di pabrik Pignon kemudian dilaporkan ke Indonesia. Dan manajemen TPE kemudian memutuskan untuk membeli 3 rapier looms dari Pignon sebagai langkah awal. Alasan utama yang diberikan TPE kepada Pignon bahwa rapier looms tersebut akan dicoba dulu di Indonesia untuk proses pengenalan dan training.

Di pabrik Texmaco, 3 rapier looms yang dibeli dari Pignon ini kemudian dibongkar. Komponennya diteliti dan dinilai satu persatu. Mulai dipilah mana yang sudah bisa diproduksi di TPE dan mana yang belum. Dan seperti dugaan mereka hampir semua komponennya sudah bisa di produksi di Texmaco kecuali gear-nya. Gear yang tak bisa di produksi di Texmaco ini kemudian diimpor dari India.

Proses yang dibutuhkan teknisi TPE untuk 'meniru' atau melakukan proses imitasi terhadap rapier looms buatan Pignon �dari blueprint, pattern, casting dll �sampai kepada berhasilnya rapier looms buatan Texmaco dijalankan kira-kira delapan bulan lamanya. Dan dalam proses ini 10 tim teknisi inti terlibat dalam diskusi yang begitu intensif. Ke-10 anggota tim ini direkrut dari foundny, machining, assembling, pattern dan juga berasal dari TJ sebagai pemakai mesin.

Salah seorang anggota tim pembuatan rapier looms ini melukiskan suasana kerja tim TPE saat itu tak ubahnya seperti sebuah tim Formula 1. Ada mekanik di Pit dan ada driver di lintasan. Anggota tim dari foundry memberikan input dan berkonsentrasi tentang material mesin. Anggota tim yang dari machining dan assembling memberikan banyak input tentang prosesnya. Anggota tim dari pattern memberikan banyak input tentang desain serta anggota tim dari TJ memberikan banyak pula umpan balik dari pengalamannya sebagai pengguna mesin. Semua mereka menyatu dan bekerja bahu-membahu demi terealisasinya mimpi mereka untuk berhasil memproduksi rapier looms.

Selama delapan bulan proses pembuatan rapier looms Texmaco tersebut, tim TPE sebenarnya bekerja dalam lingkungan yang cukup menegangkan dan penuh dengan tuntutan. Betapa tidak Mr Sinivasan sudah terlanjur berjanji kepada pemerintah untuk memamerkan hasil produknya tersebut di Pameran Produk Indonesia 1 yang kebetulan akan dibuka oleh Presiden Soeharto. Ketegangan ini semakin menjadi-jadi karena rapier looms yang harus dihasilkan Texmaco tak boleh sama persis seperti yang telah dihasilkan Pignon. Menurut Mr Sinivasan, pasar Indonesia dan Italia berbeda dalam rasa, selera, permintaan dan daya belinya. Karenanya jika rapier looms buatan Pignon hanya bisa menghasilkan sejenis kain saja, maka rapier looms Texmaco harus mampu menghasilkan output yang berbeda, yang disesuaikan dengan target market yang ingin dituju. Pesan Mr Sinivasan sebagai 'big boss' semakin terasa gemanya dengan dibukanya 3 pabrik garmen baru dari Texmaco Grup di Bogor. Ketiga pabrik garmen ini ditujukan untuk melayani 3 segmen pasar yang berbeda. Output yang kualitasnya baik akan ditujukan untuk pasar-pasar ekspor. Sedang yang kualitasnya sedang dan biasa-�biasa saja akan ditujukan untuk melayani pasar dalam negeri. Keragaman jenis output yang diinginkan ini mau tidak mau 'memaksa' TPE untuk menghasilkan rapier looms yang spesifikasinya berbeda pula. Dan ini merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi mereka.

Setelah 8 bulan bekerja dengan banyak trial and error, modifikasi, dsb, 3 prototypes rapier looms made in Texmaco berhasil diciptakan untuk melayani 3 jenis output yang berbeda di akhir tahun 1988. Rapier looms made inTexmaco ini kemudian diberi merek PERKASA.


D. Mengembangkan Machine Tools dan Mesin Tekstil Modern lainnya dengan Lisensi Terbatas (1990 - 1995)

Pada akhir dekade 1980-an, ekonomi Indonesia terus tumbuh dengan sangat pesat. Pada periode 1988-1991 misalnya, ekonomi tumbuh rata-rata 9% per tahun. Dalam masa yang demikian menggembirakan ini Texmaco sebagai sebuah grup bisnis berhasil mengoptimalisasikan integrasi vertikal sebagai strategi bisnisnya. Hampir semua bahan baku untuk tekstil seperti polymer chips, benang dari polyster, fibre dan PTA (Purified Terephtalic Acid) telah berhasil diproduksi sendiri oleh TTS (bagian Texmaco grup di industri kimia). Dengan keberhasilan TTS ini memungkinkan Texmaco Jaya (perusahaan tekstil) menghasilkan beragam produk untuk berbagai kepentingan seperti cotton, polyster/cotton, polyster/rayon, woven fabrics, denim dan synthetic fabrics. Produk-produk ini selain untuk konsumsi pasar domestik juga untuk keperluan ekspor.

Perkembangan dan berbagai inovasi teknologi di TTS mendorong berbagai perubahan di TJ serta TPE. Begitu juga sebaliknya. Ketika TJ mencanangkan diri untuk mulai memposisikan diri sebagai salah satu pemain global di industri tekstil dunia, TPE sebagai penyedia mesin-mesin tekstil untuk TJ harus pula merespon tantangan ini secara serius pula. TPE kemudian mulai mencanangkan diri secara serius untuk menjadi penyedia mesin-mesin tekstil handal yang bertaraf dan berstandar internasional.

Untuk menjadi perusahaan handal di bidang perekayasaaan mesin-mesin tekstil bukanlah sebuah ilusi buat perusahaan semacam TPE. TPE dalam perkembangannya telah berhasil mengakumulasi tidak hanya kapasitas produksi yang memadai tetapi juga kemampuan teknologi yang luar biasa. Tersedianya TJ yang nota bene merupakan pabrik tekstil terbesar di Indonesia sebagai 'captive user' telah menjadi semacam laboratorium yang sangat kondusif buat tumbuh berkembangnya inovasi teknologi di TPE. Tetapi, untuk menjadi pemain handal di industri permesinan, TPE mau tidak mau harus pula melakukan modernisasi pada alat dan fasilitasnya. Komponen-komponen mesin berkualitas dengan presisi tinggi secara masif tak lagi bisa dihasilkan secara manual. Untuk itu keberadaan mesin perkakas (machine tools) menjadi semacam keniscayaan buat perkembangan TPE selanjutnya dalam menghasilkan mesin-mesin yang berkualitas. Machine tools-lah yang memungkinkan TPE menghasilkan komponen-�komponen berkualitas dengan prosesi tinggi dan akurat.

Menyadari pentingnya machine tools, pada tahun 1990, TPE kemudian mulai melakukan diversifikasi aktivitasnya ke machine tools ini dengan mengimpor 23 machine tools CNC (computerised numerically controlled) dari Mazak (Japan). Mazak dipilih karena kebetulan Mazaklah yang sanggup menyediakan kredit bagi TPE untuk pembelian mesin-mesin ini. Dan sebagai bagian dari deal pembelian, teknisi-teknisi TPE kemudian dilatih di Jepang dan di Singapura tentang bagaimana mengoperasikan, merawat dan memperbaiki CNC ini. Latihan ini tentu saja semakin menambah knowledge base dari teknisi TPE mengenai permesinan.

Sebagai bentuk keseriusan TPE dalam aktivitas di machine tools ini, divisi machine tools kemudian dipindahkan ke Karawang di areal yang sangat luas dan dilengkapi dengan fasilitas yang sangat modern.

Untuk sekedar memberi gambaran tentang betapa strategisnya machine tools ini dalam perkembangan sebuah perusahaan perekayasaan yang berkecimpung di mesin tekstil seperti TPE, informasi tentang mesin tekstil yang lengkap rasanya perlu diberikan gambaran. Mesin tekstil yang lengkap biasanya terdiri dari 3 bagian penting; preparatory, weaving dan processing/finishing. Preparatory machine adalah mesin yang digunakan untuk menghasilkan benang (yarn) yang siap untuk ditenun. Weaving machine adalah mesin yang akan menenun benang tadi menjadi kain. Processing/finishing machine adalah mesin yang akan menyelesaikan atau merubah berbagai kain hasil tenunan tadi menjadi beragam output seperti silk, denim, dll.

Sebelum TPE memiliki machine tools, TPE sebenarnya baru mampu menghasilkan weaving machines saja seperti shuttle looms dan rapier looms. Preparatory dan finishing machines masih diimpor oleh TJ dari Jepang, Jerman dan Italia. Ketersediaan machine tools yang ditunjang dengan telah terakumulasinya kapasitas produksi dan kemampuan teknologi yang baik, memungkinkan TPE kemudian mampu menghasilkan ketiga macam mesin tekstil tadi.

Didukung dengan proses pembelajaran teknologi yang terus menerus dari pengalaman berproduksi serta dipekerjakannya �tepatnya, dibajaknya �beberapa teknisi profesional yang sangat berpengalaman dari Jepang serta berbagai aliansi dan kerjasama strategis di bidang teknologi dengan perusahaan-perusahaan perekayasaan kelas dunia semacam ICBT Diedrichs (Prancis), Thies GmBH (Jerman), Mario Croasta dan MS Machinery (Italia) TPE berhasil mensejajarkan diri dengan produsen-produsen mesin tekstil kelas dunia. Tahun 1994 misalnya, TPE telah berhasil memproduksi mesin tekstil yang sangat canggih seperti water jet dan air jet weaving machines. Bahkan dengan lisensi terbatas dari Murata dan Tsukodama (Jepang), Beninger (Swiss) dan Barmag (Jerman) TPE berhasil mengembangkan high speed twisting machines, state of the arts stenters, dyeing dan rotary printing machines di akhir tahun 1994. Tahun 1995, TPE semakin berkiprah dalam menghasilkan mesin tekstil yang sangat canggih seperti two for one twisters, pirn winders, texturing machines dan ring spinning frames.

Keberadaan machine tools benar-benar telah merubah TPE menjadi perusahaan yang mampu menghasilkan komponen dan mesin-mesin tekstil yang handal. Selama proses menghasilkan komponen dan mesin tekstil, TPE ternyata berhasil juga mengembangkan dan menghasilkan komponen-komponen machine tools. Dan karena prospek bisnis TPE yang demikian menjanjikan, manajemen TJ dan TPE sepakat bahwa di masa depan TPE akan semakin membutuhkan lebih banyak lagi machine tools kalau tetap ingin berkembang. Karenanya manajemen TPE kemudian memutuskan bahwa TPE harus mampu menghasilkan machine tools-nya sendiri. Dari pengalaman dalam memproduksi berbagai komponen machine tools membuat harapan tersebut bukanlah sebuah pepesan kosong.

Walaupun TPE telah mampu mengakumulasi cukup kapasitas produksi dan kemampuan teknologi tentang machine tools, teknisi TPE menyadari bahwa machine tools seperti Mazak terlalu canggih dan sangat sulit untuk ditiru atau diimitasi. Jarak teknologinya masih terlalu jauh antara TPE dan Mazak. Apalagi manajemen Mazak memang tidak mau memberikan lisensi kepada TPE untuk mengembangkan machine tools di Indonesia. Untuk mengatasi masalah tersebut Mr Sinivasan dan tim dari TPE kemudian menghadiri machinery expo di Hannover (German) dan mencoba mencari lebih banyak informasi lagi tentang machine tools. Beruntung sekali mereka berhasil menemukan machine tools yang lebih sederhana buatan Casanov (Perancis) di pameran tersebut. TPE kemudian membeli 2 mesin Casanov dan membongkarnya secara detil di TPE di Indonesia. Ternyata hampir semua komponennya sudah bisa diproduksi di TPE kecuali Control System-nya. Beruntunglah pada akhir tahun 1995, TPE berhasil memperoleh lisensi dari Aciera (Swiss) untuk memproduksi dan mengembangkan machine tools di Indonesia. Sejak saat itu, TPE kemudian mengembangkan aktivitasnya tidak hanya sebatas memproduksi dan menghasilkan mesin-mesin tekstil tetapi juga menghasilkan mesin penghasil mesin tekstil (machine tools) dengan lisensi dari Aciera (Swiss).


E. Menjadi Indonesia's Leading Industrial Equipment and Machinery Manufacturers (1995-2000)

Berhasilnya TPE dalam memproduksi dan menghasilkan machine tools untuk keperluannya sendiri telah berhasil membuat TPE sebagai sebagai perusahaan terbesar yang menghasilkan mesin-mesin tekstil di Indonesia. Berbagai jenis mesin tekstil seperti tertera di Tabel 1 telah berhasil diproduksi oleh TPE.

Karena kemampuan teknologinya semakin baik dan didukung dengan fasilitas foundry yang juga baik, serta ditunjang pula dengan keberadaan machine tools di TPE, beberapa perusahaan otomotif dan perekayasaan internasional yang ada di Indonesia seperti Opel, GMBI, Izusu dan Yanmart mulai melakukan subkontrak beberapa komponennya ke TPE. Komponen yang banyak dikerjakan mulai tahun 1996 sebagian besar adalah komponen-komponen otomotif. Jadi mulai tahun 1996 itu, TPE tidak hanya terlibat dalam menghasilkan komponen mesin tekstil, mesin tekstil, komponen machine tools dan machine tools, tetapi juga sudah mempu memproduksi komponen-komponen otomotif dari hasil subkontrak perusahaan-perusahaan asing tadi.

Karena aktivitas TPE yang semakin beragam dan spektrumnya semakin lama semakin meluas maka machine tools yang lebih canggih semakin dibutuhkan untuk menghasilkan berbagai komponen yang lebih berkualitas dan reliable. Untuk keperluan itu TPE kemudian bekerjasama di bidang teknologi dengan membentuk perusahaan joint venture dengan Bridgeport Machines Inc dari USA untuk mengembangkan machine tools bridgeport series 1, the E-Z Trak Universal Milling Machines dan The Torq Cut Machining Centre. Dengan semakin banyak dan intensifnya kerjasama teknologi dengan Bridgeport dan Aciera TPE kini mampu menghasilkan beragam machine tools seperti tertera di Tabel 2. Keberhasilan TPE dalam mengembangkan machine tools yang semakin canggih memungkinkan lebih banyak lagi variasi komponen otomotif yang bisa diproduksi dan dihasilkan serta dalam volume yang relatif lebih besar.

Berdasarkan pengalaman dalam memproduksi komponen mesin tekstil, mesin tekstil, komponen machine tools, machine tools serta adanya bantuan teknis dari Bridgeport, Aciera dll, menyadarkan manajemen TPE bahwa untuk lebih maju lagi, TPE harus memodernisasi berbagai peralatannya lagi. Pada pertengahan tahun 1997, fasilitas casting dan foundry semakin dilengkapi dengan investasi yang sangat besar sehingga menjadi casting dan foundry termodern di Indonesia. Fasilitas yang lebih baik ini memungkinkan TPE memperoleh input yang lebih baik untuk mesin-mesin yang dihasilkan oleh TPE selanjutnya. Tidaklah mengherankan jika dalam perkembangan selanjutnva TPE berhasil memproduksi berbagai komponen otomotif sebagaimana tertera di Tabel 3.

Karena perkembangannya yang semakin baik dan semakin banyak permintaan subkontraktor dari luar TPE, TPE kembali membangun foundry yang sangat canggih di Kaliungu yang mampu menghasilkan heavy casting dari industri-industri berat. Foundry yang baru ini dilengkapi dengan laboratorium uji yang sangat canggih, CAD/CAM Centre, Well Equipped Pattern Shop dan berbagai fasilitas pendukung canggih lainnya. Keberadaan foundry dan casting yang mampu melayani industri-industri berat ini mendorong TPE kemudian untuk melebarkan aktivitasnya ke industri-industri berat pada tahun 1998.

Meluasnya aktivitas TPE ke industri berat ini sebenarnya dirangsang dan didorong oleh perkembangan TTS (perusahaan kimia Texmaco) yang bermetamorfosis menjadi PT Polysindo Eka Perkasa (PEP). Karena perkembangan yang demikian pesat dari Texmaco Jaya (perusahaan tekstil dan garmen) maka Texmaco merasa perlu untuk membangun sebuah pabrik atau perusahaan kimia yang lengkap dan canggih untuk mensuplai semua bahan baku yang dibutuhkan TJ. Pabrik yang baru ini membutuhkan alat�-alat berat dan perekayasaannya sekaligus. Dengan dibantu oleh teknisi dari Eastment Chemical Company (USA) dan John Brown Engineering (Jerman) teknisi TPE kemudian terlibat aktif dalam menyelesaikan PEP ini. Dengan knowledge base yang ada akhirnya proyek PEP ini selesai pada tahun 1997. Momentum ini merupakan langkah awal bagi TPE untuk aktif dan memperluas aktivitas bisnisnya di heavy fabrication.

Terlibatnya TPE di industri-industri berat serta semakin banyaknya fasilitas fisik yang modern membuat kapasitas dan kapabilitas teknologi TPE semakin membaik dan canggih. Kini dengan kemampuan yang ada TPE tidak lagi menunggu bola, menunggu pesanan tapi sudah mulai aktif mencari pelanggan dengan menghadiri berbagai pameran perdagangan di luar negeri dan memamerkan produk-produk engineering-�nya. Akibatnya perusahaan-perusahaan kelas dunia semacam GE mulai melakukan subkontrak untuk produk-produk heavy fabrication-nya ke TPE.

Pengalaman-pengalaman memproduksi serta berinteraksi dengan pemain-pemain global menyebabkan TPE kini mampu menghasilkan berbagai produk di heavy engineering dan fabrication seperti tertera di Tabel 4.

Karena TPE telah memiliki kemampuan teknologi yang sangat tinggi dalam heavy engineering and fabrication, semua produknya kemudian dapat dibuat sesuai spesifikasi pelanggan (customised) dan mengikuti standar internasional. Hal ini terbukti dengan diperolehnya berbagai macam penghargaan internasional seperti 'Certification of Authorization' oleh American Society of Mechanical Engineers (ASME) untuk produk-produk alat berat TPE.

Perkembangan kemampuan teknologi TFE semakin membaik dalam industri berat dengan diadakannya berbagai aliansi strategis dalam bidang teknologi dengan Murray and Roberts dari Afrika Selatan, PLN Indonesia dan PT Rekayasa Industri Indonesia dalam mengembangkan proyek-proyek berskala besar di Indonesia bahkan di luar negeri seperti tertera di Tabel 5.

Di sektor otomotif, TPE telah berhasil memproduksi hampir semua komponen otomotif. Dan ini mendorong TPE untuk semakin mengembangkan bisnisnya ke bidang otomotif. Untuk ini, dalam rangka semakin memperkuat kemampuan teknologinya TPE telah berhasil bekerjasama dalam bidang teknologi dengan Cummins (USA) untuk permesinan, ZF (Jerman) untuk roda gigi dan transmisi, Steyr (Austria) untuk permesinan dan as roda, dan Eaton (USA) untuk as roda.

Dengan berbagai kemampuan teknologi serta bantuan teknis dari global players di industri otomotif semacam Leyland (UK), Terex (USA) dan Matra (Perancis) tidaklah mengherankan jika tahun 1999 TPE berhasil meluncurkan truk buatannya sendiri dengan merek Perkasa. Dan kiprah TPE sebagai Indonesia's Leading Industrial Equipment and Machinery Manufacturer semakin menemukan maknanya ketika TPE berhasil meluncurkan traktor tangan untuk petani Indonesia di tahun 1999.

Penutup

Namun sayangnya, di awal tahun 2000, segenap permasalahan menyangkut utang Texmaco dan sejumlah anak perusahaannya terkuak ke permukaan. Texmaco ditengarai memiliki utang sebesar Rp 30 triliun lebih. Industri strategis yang sudah dibangun dengan susah payah ini pun akhirnya ambruk, terlilit benang kusut yang tampaknya takkan pernah terurai. Bahkan sebaliknya, kasus ini malah semakin ruwet dan menyerempet ke urusan politik. Proses pembelajaran teknologi yang dilakukan pun akhirnya layu setelah berkembang. Tentunya perlu upaya yang keras dari semua pihak yang terlibat untuk menyelamatkan industri strategis ini kembali. Bukan semata-mata menyelamatkan perusahaannya, tetapi �yang lebih penting dari itu adalah �menyelamatkan proses pembelajaran teknologi yang telah dialami oleh anak bangsa ini selama berpuluh tahun. Tentu proses ini sendiri tak ternilai harganya.

DR. Zulkieflimansyah, Ph.D. © 2010

Sumber: 
http://arsipiptek.blogspot.com/2011/03/pt-texmaco-dinamika-inovasi-teknologi-2.html

Sejarah Berdirinya Texmaco Perkasa Engineering

PT Texmaco Perkasa Engineering (TPE) adalah bagian dari Grup Texmaco. Awalnya TPE hanyalah sebuah unit kecil yang disematkan oleh manajemen pabrik tekstil Texmaco untuk merawat, mengoperasikan dan memperbaiki mesin-mesin tekstil Texmaco. Unit kecil ini kemudian berkembang menjadi entitas sendiri yang tak hanya berkutat pada perawatan, pemeliharaan dan pengoperasian mesin-mesin Tekstil Texmaco, tetapi juga membuat suku cadang mesin-mesin tekstil yang tadinya diimpor dari luar negeri. Dalam perkembangan selanjutnya entitas ini terus berkembang dan menjadi unit bisnis sendiri serta berkecimpung dalam berbagai aktivitas perekayasaan (engineering activities) seperti foundry, casting, produksi mesin tekstil, machine tools, komponen otomotif, otomotif, traktor tangan, peralatan berat, dsb.


Latar Belakang dan Sejarah

Marimutu Sinivasan, pendiri Texmaco Group, awalnya adalah seorang pedagang tekstil yang banyak melakukan impor tekstil dari India pada tahun 50-an. Karena aktivitas bisnisnya berjalan baik, dia lalu mendirikan pabrik pemintalan tradisional, bernama Firma Djaya Perkasa di Pekalongan, Jawa Tengah pada tahun 1961. Pabrik ini dilengkapi sekitar 300 peralatan tenun tangan tradisional yang dibeli dari pengrajin dan tukang-tukang kayu di sekitar Pekalongan. Sebagai kota yang akrab dengan aktivitas pemintalan, mesin-mesin pemintalan kayu tradisional bukanlah sesuatu yang baru di Pekalongan.

Karena aktivitas bisnisnya semakin berkembang dan permintaan pasar domestik terhadap tekstil demikian besar, pada tahun 1967 Marimutu Sinivasan kemudian memperluas aktivitas bisnisnya dengan membuka sebuah pabrik pemintalan baru di Pemalang. Pabrik ini juga dilengkapi dengan peralatan tenun tradisional untuk operasionalnya.

Selain karena kepiawaian Marimutu Sinivasan dalam menangkap sinyal perkembangan bisnis tekstil yang demikian menjanjikan, ekspansi bisnis ke Pemalang ini juga dimungkinkan karena lingkungan bisnis yang diciptakan oleh pemerintah Indonesia saat itu untuk industri tekstil benar-benar kondusif. Presiden Soeharto dengan teknokrat ekonominya pada awal orde baru mengadopsi strategi subsitusi impor (SI) sebagai strategi industrialisasinya. Untuk mendukung strategi SI ini banyak perubahan drastis diperkenalkan oleh pemerintah menyangkut kebijakan-kebijakan perdagangan dan investasi. Dan ini sangat terasa pada industri-industri yang berkenaan dengan kebutuhan dasar masyarakat seperti makanan, minuman dan tekstil. Industri tekstil misalnya, diberikan banyak sekali insentif untuk berkembang, seperti adanya bebas bea masuk untuk impor barang modal dan mesin peralatan serta disertai pula berbagai keringanan dan pembebasan pajak. Selain itu ekonomi Indonesia memang tumbuh pesat yang memungkinkan masyarakat memiliki pendapatan yang memadai. Semua hal ini punva peran penting dalam mendorong maraknya bisnis tekstil di Indonesia.

Karena prospek bisnis yang demikian menggairahkan, berbagai penyesuaian dilakukan oleh Marimutu Sinivasan. Pada bulan November 1970 misalnya, nama perusahaan dirubah dari Firma Djaya Perkasa menjadi TEXMACO JAYA (TJ). Texmaco adalah nama yang merupakan kependekan dari Textile Manufacturing Company. Sebuah nama yang mengandung nuansa internasional yang kental.

Sebagai respon terhadap demikian pesatnya permintaan akan produk tekstil di pasar domestik dan juga terdorong oleh berbagai insentif yang diberikan pemerintah, TJ pada tahun 1970 mengimpor mesin pemintal bekas dari Korea (Wang Pong) dan India (Sun Rise and Cooper) untuk pabrik di Pemalang dan Pekalongan. Disamping karena harganya yang relatif terjangkau, keputusan untuk mengimpor mesin pemintal bekas ini juga dipengaruhi oleh adanya kebijakan pemerintah di kurun 1971-1974, yang mendorong dan mengijinkan pengusaha-�pengusaha di industri tekstil seperti Marimutu Sinivasan untuk mengimpor mesin�-mesin tekstil bekas yang usianya dibawah 10 tahun.

Tahapan Perkembangan Kemampuan Teknologi di TPE

A. Asimilasi dari Mesin Tekstil Impor (1970-1979)

Karena sebelumnya hanya menggunakan mesin kayu tradisional dan belum memiliki banyak pengalaman dalam berinteraksi dengan mesin tekstil modern, manajemen TJ membentuk dua tim kecil, satu untuk pabrik yang di Pemalang dan satu lagi untuk pabrik yang di Pekalongan. Tim ini bertanggungjawab untuk mengoperasikan, merawat dan memelihara mesin tekstil yang baru diimpor ini di tiap lokasi.

Sesuai dengan kesepakatan, perusahaan India dan Korea yang menjual mesin tekstil ke Texmaco pada saat itu melakukan pembelajaran dan transfer pengetahuan dan teknologi kepada TJ berupa explicit knowledge. Explicit knowledge merupakan seperangkat ilmu atau pengetahuan yang telah tertuang atau terkodifikasi dalam bentuk dokumen atau tulisan yang bisa dibaca dan dipelajari. Informasi yang diberikan mengenai spesifikasi mesin dan berbagai petunjuk (manual) tentang bagaimana mesin digunakan dalam proses produksi. Selain itu mereka juga terlibat aktif dalam merancang pabrik untuk keperluan pemasangan mesin serta dalam pembangunannya. Yang menarik, sebagai rangkaian dari proses pembelian mesin impor ini ada juga persetujuan dan kesepakatan antara manajemen TJ dengan perusahaan pengimpor mesin ini bahwa teknisi dari perusahaan India dan Korea itu berkewajiban untuk memberikan training kepada teknisi TJ serta turut pula mendampingi mereka dalam proses awal dalam mengoperasikan, memelihara dan merawat mesin-mesin impor tadi.

Pelatihan dan pendampingan yang dilakukan para teknisi dari Korea dan India benar-�benar membantu para teknisi dari TJ untuk memahami dan menginternalisasi berbagai dokumen dan manual tentang mesin tekstil menjadi sebuah pemahaman dan pengetahuan yang dipahami betul oleh mereka dalam operasional sehari-hari. Dalam jargon yang sedikit berbau akademik, dalam fase ini terjadi proses pembelajaran dan transfer dari explicit knowledge dari teknisi dari India dan Korea menjadi tacit knowledge bagi teknisi-teknisi TJ. Tacit knowledge adalah pengetahuan yang sudah terinternalisasi dengan baik dan menjadi pengalaman sehari�-hari yang tak mudah untuk dilupakan. Teknisi dari perusahaan Korea dan India tetap berada di TJ selama kurang lebih sebulan untuk membantu staf dan teknisi TJ dalam menjalankan pabrik serta membantu bila ada masalah-masalah yang terkait dengan operasionalisasi mesin itu. Dalam proses pendampingan ini teknisi TJ banyak belajar dari dialog-dialog kecil dan informal di pabrik, belajar dari pengalaman real dalam menyelesaikan masalah jika ada kerusakan mesin serta belajar pula bagaimana mengganti komponen-komponen yang kebetulan rusak.

Ketika teknisi asing tak lagi berada di TJ, jika terjadi sesuatu pada mesin seperti kerusakan pada suku cadang (spare part), mesin mati, rusak dan sejenisnya, dengan pengalaman yang terbatas dan peralatan yang seadanya tim teknisi dari TJ berusaha memperbaikinya sendiri dengan menggunakan manual mesin yang ada serta dari pengalaman 'on the job training' dari teknisi Korea dan India dulu. Tapi dalam banyak kasus, proses perbaikan dan penggantian komponen dan suku cadang banyak dilakukan dengan 'trial and error'. Melalui proses coba-coba ini teknisi-teknisi TJ semakin memperoleh pemahaman, pengetahuan dan pengalaman mengenai suku cadang, komponen serta keseluruhan bagian mesin. Karena lingkup pekerjaan yang semakin luas dan menuntut lebih banyak perhatian, maka tim teknisi TJ ini merekrut beberapa anggota baru yang telah berpengalaman tentang permesinan (bukan spesifik mesin tekstil) dari berbagai bengkel motor lokal disekitar lokasi pabrik. Anggota tim yang baru ini membawa semacam kegairahan baru dan dengan pengetahuan permesinan yang telah mereka miliki tim teknisi TJ kini memiliki 'knowledge base' yang lumayan mengenai bagaimana mengoperasikan, merawat serta memperbaiki mesin tekstil yang ada.

Seiring dengan berjalannya waktu, mesin tekstil yang digunakan TJ dalam operasionalisasinya sehari-hari semakin lama menjadi semakin usang. Suku cadang dan komponen semakin tua dan dari hari ke hari semakin sulit untuk diperbaiki. Banyak suku cadang dan komponen harus diganti baru. Tetapi masalahnya suku cadang dan komponen tersebut harus diimpor terlebih dahulu. Ada semacam 'krisis' atau kekalutan di sini. TJ di satu sisi tak mungkin untuk menunda operasi dan proses produksinya karena demikian besarnya permintaan tekstil dari pasar domestik. Di sisi yang lain untuk mengimpor komponen dan suku cadang mesin tekstil selain biayanya relatif mahal juga terdapat time lag dari saat memesan sampai barang itu tiba di pabrik TJ.

Untuk mengatasi masalah ini, pada tahun 1979 dua tim teknisi yang tadinya bertanggung jawab terhadap perawatan dan perbaikan mesin tekstil di Pemalang dan Pekalongan digabung oleh manajemen TJ menjadi satu unit tersendiri. Unit ini kemudian dijadikan embrio bagi lahirnya bengkel mesin kecil sebagai sebuah entitas yang terpisah dari TJ. Bengkel ini bermarkas di Kaliungu. Dengan menjadi sebuah entitas yang terpisah dari TJ, tanggungjawab dari entitas baru ini diperluas, bukan hanya sekedar untuk perawatan dan perbaikan dari mesin TJ saja akan tetapi juga untuk membuat spare part-nya. Jadi mulai terlihat pada saat itu, bahwa TJ di satu sisi tetap berkonsentrasi dalam menjalankan pabrik tekstil dan bengkel mesin di sisi yang lain bertanggung jawab untuk perawatan dan perbaikan mesin dan juga membuat spare parts dari mesin-mesin tekstil yang dimiliki TJ.

Membuat spare parts dan komponen mesin tekstil sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru bagi entitas atau unit baru ini, karena orang-orang yang terlibat di unit ini telah mempunyai cukup pengetahuan, pemahaman dan skill tentang mesin yang mereka dapat dari pengalaman merawat dan memperbaiki mesin sebelumnya. Dan dari pengalaman mereka itu banyak spare parts dan komponen telah mampu mereka ganti dan ciptakan tanpa sengaja dari proses trial and error sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalam proses penciptaan suku cadang dan komponen mesin tekstil ini, para teknisi tak menggunakan paten atau manual tertentu, cukup dengan menggunakan feeling saja. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa ketika unit ini didirikan, para teknisi yang berkecimpung di dalamnya telah memiliki knowledge base yang memadai untuk membuat suku cadang dan komponen mesin tekstil. Dan itu semua mereka dapatkan dari pengalaman mereka selama ini dalam merawat mesin-�mesin tekstil TJ.


B. Mengembangkan Mesin Tekstil Pertama Texmaco (1979-1985)

Pada akhir dekade 70-an, keadaan lingkungan eksternal maupun internal sangat mendukung untuk pengembangan bisnis Texmaco Grup. Lonjakan ekonomi akibat bonanza minyak memungkinkan ekonomi Indonesia terus tumbuh dan berkembang sangat pesat. Akibatnya pendapatan perkapita dan daya beli masyarakat Indonesia secara umum pun meningkat. Faktor-faktor ini tentu saja berimplikasi positif terhadap bisnis tekstil yang diindikasikan oleh semakin membanjirnya permintaan domestik terhadap tekstil. Keadaan ini semakin bertambah kondusif karena pemerintah terus memberikan insentif kepada para industrialist di industri tekstil seperti adanya pembebasan bea masuk untuk impor barang modal dan peralatan serta adanya keringanan bahkan pembebasan pajak bagi perusahaan-perusahaan tekstil.

Perkembangan lingkungan internal Texmaco Grup juga sangat menunjang dan menantang bagi perkembangan perusahaan secara umum. Pada tahun 1975 misalnya, karena permintaan domestik yang demikian tinggi terhadap produk-produk tekstil, Texmaco mendirikan pabrik garmen baru, PT Ungaran Sari Garment (USG) di Ungaran (Jawa Tengah). Selain itu divisi lain di Texmaco Jaya juga telah mampu mengembangkan benang dari polyester di tahun 1977. Divisi ini kemudian bermetamorfosis menjadi PT tersendiri yang bernama PT Texmaco Taman Syntetics (TTS) yang berlokasi di Kaliungu. Perkembangan ini tentu saja semakin merangsang dan mendorong Texmaco Jaya untuk terus maju dan meningkatkan volume produksinya.

Karena perkembangan lingkungan eksternal yang begitu kondusif bagi pengembangan aktivitas bisnis, serta telah mampunyai TTS yang mengembangkan benang dari polyester, prospek bisnis untuk Texmaco Grup terlihat semakin menjanjikan. Texmaco Grup kemudian merespon semua kondisi itu dengan membuka pabrik tekstil baru di Kaliungu pada tahun 1980. Lokasi pabrik baru ini persis di lokasi dimana bengkel mesin berada.

Dibukanya pabrik baru di Kaliungu ternyata membawa banyak implikasi. Dan diskusi antara manajemen TJ sebagai pengguna dari mesin-mesin tekstil dan para teknisi dari bengkel mesin, manajemen TJ menyadari bahwa untuk menaikkan volume produksi dan pada saat yang sama juga meningkatkan kualitas, TJ membutuhkan mesin tekstil yang lebih canggih untuk pabrik yang baru. Mesin tekstil yang selama ini ada sudah ketinggalan jaman dan tak bisa lagi memenuhi volume dan kualitas yang diharapkan oleh USG (perusahaan garmen Texmaco) dan para pelanggan lainnya. Walaupun kondisi makro memang kondusif, pasar tekstil domestik telah kelihatan jenuh. Pemerintah pun menyadari hal ini dan industri tekstil semakin diorientasikan untuk melayani pasar ekspor. Pemerintah mulai merubah strategi industrialisasinya dari substitusi impor kepada strategi pembangunan yang berorientasi ekspor. Adanya 'pemaksaan' untuk lebih mengorientasikan diri pada ekspor membuat manajemen TJ harus berbenah, karena pasar ekspor lebih 'cerewet' dan menginginkan tekstil yang lebih berkualitas. Kalau tetap ingin mendapat kemudahan dari pemerintah dengan berbagai insentif yang ada mau tidak mau TJ harus pula meningkatkan kualitas produknya.

Regulasi pemerintah yang membebaskan industri yang berorientasi ekspor �termasuk industri tekstil �dari bea masuk impor dan keringanan pajak untuk spare part, barang modal, intermediate goods, peralatan dan material dasar, benar-benar mempengaruhi dan memicu TJ sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia untuk menginvestasikan mesin tekstil yang lebih baik. Perlu juga dicatat bahwa keputusan untuk mengimpor mesin yang baru dan kualitas juga 'dipaksa' oleh peraturan pemerintah yang mencabut regulasi yang mengijinkan industrialist untuk mengimpor mesin tekstil bekas. Dengan kata lain, kalau industrialist mau tetap survive dan kompetitif, mau tidak mau mereka harus mengimpor mesin baru. Akibatnya, untuk pabrik tekstil baru di Kaliungu, Texmaco Jaya lalu mengimpor Picanol (rapier looms), mesin tekstil dari Belgia. Rapier looms ini memang merupakan mesin tekstil yang lebih baik dari shuttle looms yang selama ini dimiliki Texmaco Jaya dalam hal kecepatan maupun kapasitasnya.

Dalam proses merancang dan membangun pabrik tekstil yang baru di Kaliungu ini, sebuah tim dari Picanol datang dan bekerja bersama dengan tim dari bengkel mesin Texmaco. Teknisi dari Texmaco berperan aktif berdiskusi dengan tim dari Picanol dalam hal rancangan dan spesifikasi teknik dari peralatan yang diimpor dari Belgia ini. Diskusi secara informal ini terjadi lebih intensif karena teknisi dari bengkel Texmaco tak datang dengan �kepala kosong' minta disuapin pengetahuan dari koleganya dari Belgia. Mereka telah mengakumulasi cukup knowledge base tentang mesin tekstil dari pengalaman mereka merawat, memperbaiki, dan membuat spare parts dari mesin-mesin yang selama ini menjadi tanggung jawab mereka.

Ketika para teknisi dari Picanol pergi, bengkel mesin Texmaco kini punya tanggung jawab yang lebih luas. Bengkel mesin kini tak hanya bertanggung jawab untuk memelihara, memperbaiki, dan membuat spare parts dari mesin-mesin lama (shuttle looms) untuk pabrik Texmaco di Pemalang dan Pekalongan saja, tetapi juga bertanggung jawab dalam hal merawat dan memperbaiki spare parts dari rapier looms yang ada di pabrik barunya di Kaliungu. Karena lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang semakin luas, teknisi di bengkel mesin Texmaco menyadari bahwa peralatan mereka pun sudah soyogyanya diperbaharui pula. Karenanya pada tahun 1982 peralatan untuk bengkel mesin ini pun ditingkatkan dan dimodernisasi dengan dimilikinya peralatan dan perkakas yang lebih modern dan memiliki presisi yang lebih akurat. Adanya berbagai peralatan yang lebih baik dan modern ini menandai pula era baru dari bengkel mesin Texmaco. Bengkel mesin sederhana kini secara legal telah menjadi perusahaan sendiri yang terpisah dari Texmaco Jaya, dan diberi nama PT. Texmaco Perkasa Engineering (TPE).

Untuk memperkuat perusahaan baru ini, dua ekspatriat dari India yang mempunyai banyak pengalaman dan keahlian dalam merancang model spare parts dan komponen dipekerjakan. Karyawan baru yang lebih berpengalaman dan mempunyai latar belakang mesin tekstil semakin banyak direkrut. Kalau dijumlahkan total pekerja yang ada di TPE saat itu sekitar 60 orang. Adanya anggota baru dengan beragam pengalaman dan keahlian semakin meningkatkan knowledge base dari TPE yang selama ini ini sudah ada dalam hal operasionalisasi, perawatan, dan pembuatan spare parts dari mesin tekstil.

Karena memiliki peralatan dan perkakas yang lebih tepat, modern dan akurasinya lebih baik dalam hal membuat spare part, TPE dari hari ke hari semakin memperkuat kapasitas produksinya (production capacity). Dalam hal investasi misalnya, TPE kini tak hanya mampu memasang peralatan-peralatan standar untuk operasionalisasinya, tetapi juga telah mampu untuk membangun fasilitas workshop-nya sendiri. Dalam hal proses dan pengorganisasian manajemn produksi, TPE sebagai perusahaan tidak hanya mampu untuk melakukan operasi dan perawatan rutin saja tapi juga mampu meningkatkan efisiensi dari berbagai tugas yang ada. Perusahaan bahkan juga mampu membuat spare parts mesin dengan menggunakan model dan desain yang lebih tepat dengan presisi yang lebih akurat. Karena peningkatan pada kapasitas produksi dan juga dari ilmu dan keahlian yang didapat dari pengalaman membuat spare parts dengan menggunakan peralatan baru, perusahaan berhasil beradaptasi dan meningkatkan hasil operasinya. Hasilnya, TPE kini mampu memproduksi spare parts dan komponen yang kualitasnya lebih baik dan reliable untuk Texmaco Jaya.

Diperkenalkannya berbagai peralatan baru yang lebih canggih dan modern sebagai bagian dari investasi jangka panjang perusahaan, memungkinkan TPE memperoleh banyak pengetahuan, keahlian dan pengalaman baru yang berimplikasi kepada peningkatan performa produksinya. Umpan balik (feedbacks) dari proses pembelajaran ini memungkinkan TPE mengakumulasi kemampuan teknologi (technological capabilities). Dalam hal aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan investasi (investment activities) misalnya, perusahaan kini tak hanya menerima teknologi impor apa adanya, tetapi telah mampu melakukan evaluasi, memilah dan memilih teknologi dari sumber yang tepat dan dengan harga yang wajar untuk proses produksinya. Dalam hal pengorganisasian dan proses produksi (process and production organization), perusahaan kini tak hanya mampu melakukan operasi dan perawatan yang sifatnya rutin, tapi juga sudah mampu memperbaiki rancangan dan lay out dari workshop, meningkatkan dan memperbaiki prosedur perawatan mesin, melakukan proses adaptasi dengan berbagai peralatan yang baru serta meningkatkan efisiensi proses produksi dan lain sebagainya. Dapatlah dikatakan bahwa pada fase ini perusahaan telah mampu mengakumulasi kemampuan teknologi (technological capabilities) dalam hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas investasi (investment activities), dalam pengorganisasian proses produksi (process and production organization), dan backward serta forward linkages. Keberhasilan perusahaan dalam mengakumulasikan kemampuan teknologi dalam berbagai kegiatan tadi memungkinkan perusahaan kemudian memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya, yang kemudian berimplikasi kepada semakin banyak dan menguatnya kapasitas produksi (production capacities) dan semua ini kemudian memungkinkan munculnya kemampuan-kemampuan teknologi yang baru.

Pembelajaran teknologi (technological learning) yang berbuah kemampuan teknologi (technological capabilities) dan proses perubahan teknis (technical change) yang berbuah peningkatan kapasitas produksi (production capacities) memberikan banyak sekali umpan balik kepada peningkatan kinerja perusahaan. Salah satunya adalah mulai timbul semacam kesadaran kolektif bahwa untuk maju dan kompetitif ke depan perusahaan harus memiliki sendiri peralatan dan fasilitas casting (cetakan) yang memadai. Tidaklah mengherankan jika pada tahun 1983 perusahaan kemudian melakukan diversifikasi aktivitasnya ke foundry, walaupun semua alat dan fasilitasnya memang masih sangat sederhana.

Adanya divisi khusus yang berkonsentrasi pada foundry di TPE memungkinkan TPE kemudian mampu untuk memiliki kontrol yang cukup ketat terhadap input dari suku cadang maupun komponen yang dihasilkan TPE. Akibatnya dari hari ke hari semakin banyak saja suku cadang dan komponen dengan kualitas yang baik yang mampu dihasilkan oleh TPE untuk Texmaco Jaya. Pada 1985 hampir semua suku cadang dan komponen dari mesin tekstil sudah dapat diproduksi oleh TPE dengan kualitas yang baik dan dapat diandalkan. Dalam benak para teknisi TPE saat ini sudah mulai muncul kesadaran dan kepercayaan bahwa TPE sebenarnya sudah memiliki kemampuan untuk merakit bahkan membuat mesin tekstil secara utuh di TPE.

Keyakinan yang demikian besar yang membuncah dalam benak para teknisi TPE seakan menemukan maknanya ketika tahun 1985, banjir besar melanda Pemalang, lokasi di mana pabrik tekstil Texmaco Jaya berada. Mesin-mesin yang ada terendam dan rusak serta tak dapat lagi digunakan untuk beroperasi. Terjadilah semacam 'krisis' di TJ. TPE yang kebetulan bertanggungjawab dalam hal mengoperasikan, merawat dan memperbaiki mesin-mesin tekstil TJ diserahkan amanah untuk mengatasi masalah ini. Oleh karena selama ini TPE telah mampu mengakumulasi knowledge base yang memadai baik dalam hal kapasitas produksi (production capacities) maupun kemampuan teknologi (technological capabilities), TPE tak lantas merekomendasikan ke manajemen TJ untuk mengganti mesin-mesin yang rusak tadi dengan mesin-mesin yang baru. Tetapi mesin�-mesin yang terendam tadi mulai dibongkar dan diperbaiki oleh teknisi-teknisi TPE. Satu demi satu komponen dan suku cadang mesin-mesin tekstil yang rusak tadi dicopot, dibongkar dan diperbaiki oleh teknisi-teknisi TPE. Setelah semua komponen dan suku cadang bisa diperbaiki teknisi-teknisi ini kemudian merakitnya menjadi sebuah mesin yang sama sekali baru dan lengkap!

Keberhasilan para teknisi TPE dalam membongkar, memperbaiki dan merakit mesin-mesin tekstil yang rusak tadi merupakan momentum penting bagi perkembangan inovasi teknologi di TPE selanjutnya. Teknisi TPE menemukan semacam gairah dan semangat baru bahwa kapasitas produksi dan kemampuan teknologi yang selama ini mereka memiliki telah mampu mengantarkan mereka pada sebuah era baru dimana mereka sebenarnya sudah mampu menciptakan mesin tekstil sendiri secara utuh. Dan karena hampir semua cuku cadang dan komponen mesin tekstil sudah mampu mereka produksi sendiri di TPE, maka pada tahun 1985 itu juga TPE kemudian menciptakan mesin tekstil sendiri made in Texmaco!

Karena sudah memiliki alat dan fasilitas foundry dan casting sendiri, semua mesin-�mesin tekstil tua yang diimpor dari India pada tahun 1970 (Cooper dan Sun Rise) dilebur dan dicairkan di foundry sebagai bahan baku untuk mesin baru buatan Texmaco. Mesin-mesin baru yang merupakan hasil kerja teknisi-teknisi TPE kemudian menggantikan mesin-mesin impor India di pabrik-pabrik tekstil Texmaco di Pemalang dan Pekalongan.

Berhasilnya TPE membuat mesin tekstil buatan sendiri memungkinkan banyak sekali ilmu, umpan balik, pengalaman dan keahlian baru yang diperoleh teknisi-teknisi TPE. Selain itu masukan dari TJ sebagai pengguna mesin juga banyak memberi arti dan makna akan peningkatan kapasitas produksi dan kemampuan teknologi dari TPE selanjutnya.

Keberhasilan TPE dalam membuat mesin tekstil sendiri juga berpengaruh terhadap pertumbuhan TPE sebagai sebuah perusahaan. Karena dirasakan perkembangannya semakin pesat, aktivitas TPE kemudian dibagi ke dalam dua divisi besar yaitu foundry dan TPE yang 'lama' yang tetap melakoni aktivitas seperti machining, assembling, pattern, dan training. Marimutu Sinivasan pemilik dari Texmaco Grup menjadi presiden direktur TPE.

Munculnya aktivitas atau bagian 'training' secara khusus memang unik, karena selama ini sebagian besar dari training TPE memang dilakukan sambil jalan (on the job). Tetapi itu sebenarnya merupakan respon dari kampanye pemerintah, khususnya Departemen Tenaga Kerja yaitu Gugus Kendali Mutu (GKM), yang memaksa perusahaan-�perusahaan di Indonesia untuk memberikan perhatian lebih serius kepada training untuk meningkatkan kapasitas karyawannya. Sebagai akibat dari GKM ini, perusahaan�-perusahaan di Indonesia termasuk TPE di dalamnya 'dipaksa' untuk merubah 'tacit knowledge' yang tadinya berada di benak para teknisi menjadi 'explicit knowledge' yang terkodifikasi dalam bentuk manual produksi, spesifikasi mesin, prosedur kerja, dsb. Explicit knowledge ini mengambil bentuk buku-buku petunjuk ringkas maupun pamflet�-pamflet dan kertas kerja. Ketersediaan berbagai ilmu yang lebih jelas dan terperinci ini dalam bantuk manual dan buku yang memungkinkan proses pembelajaran dan penyebaran ilmu dan pengetahuan di dalam TPE menjadi lebih cepat dan semakin baik.

DR. Zulkieflimansyah, Ph.D. © 2010

Sumber: 
http://arsipiptek.blogspot.com/2011/03/pt-texmaco-dinamika-inovasi-teknologi.html