Welcome

News Industri Indonesia

Minggu, 08 Februari 2015

Perkembangan Texmaco Perkasa Engineering (TPE)

C. Masa Memproduksi Mesin Tekstil Texmaco dan 'Creative Imitation' (1985-1990)

Sejak tahun 1979 sebagaimana telah dijelaskan di bagian sebelumnya, TPE bertanggung jawab bukan hanya dalam hal perawatan, perbaikan, dan pembuatan spare parts dari shuttle looms tetapi juga terhadap perawatan dan perbaikan spare parts dari rapier looms yang diimpor dari Belgia (Picanol). TPE selama proses ini telah mampu memiliki dan mengakumulasikan ilmu pengetahuan dan pengalaman serta berbagai keahlian tentang rapier looms. Teknisi-teknisi TPE sebagai contoh, mampu mengenali perbedaan kualitas dan kecepatan antara komponen-komponen shuttle looms dan rapier looms, dan ini merupakan tacit knowledge yang terinternalisasi dengan baik. Mereka juga sudah mampu mengenali faktor apa saja yang membuat rapier looms lebih powerful dalam hal kualitas dan kecepatan dibandingkan dengan shuttle looms.

Selama proses pengoperasian, perawatan dan perbaikan rapier looms, teknisi TPE menyadari bahwa dengan menggunakan perkakas dan peralatan yang telah tersedia di TPE beberapa komponen rapier looms sebenarnya sudah dapat dibuat di TPE. Akan tetapi untuk membuat keseluruhan rapier looms utuh seperti Picanol memang belum memungkinkan. Para teknisi TPE menyadari keterbatasan peralatan yang mereka miliki. Tetapi karena TPE telah berhasil membuat shuttle looms, mereka kemudian berpikir mengapa tidak mencoba untuk memodifikasi shuttle looms Texmaco dengan beberapa spare parts dari rapier looms yang sudah bisa dibuat di TPE?


Pada tahun 1986 langkah terobosan untuk melakukan modifikasi dimulai. Beberapa spare part dari rapier looms yang sudah berhasil di produksi di TPE dipasang di shuttle looms Texmaco. Hasilnya TPE kini mampu menciptakan mesin tekstil yang kualitas dan kecepatannya lebih baik dari shuttle looms tetapi masih belum sebaik kualitas dan kecepatan dari rapier looms. Eksperimen ini ternyata cukup sukses dan semakin menambah percaya diri para teknisi TPE yang terus mencoba dan memodifikasi model mesin baru made in Texmaco ini. Selama proses modifikasi ini Picanol digunakan sebagai benchmark. Dan ketika TJ membuka pabrik tekstil baru di Cakung (Jakarta) pada 1987, sekitar 50 dari mesin modifikasi baru ini dipasang di lokasi baru tersebut. Patut pula dicatat bahwa pabrik tekstil di Cakung tersebut dibuka oleh Presiden Soeharto. Tentu ini punya arti banyak di negara berkembang seperti negara kita.

Tahun 1987 merupakan masa yang sangat menantang bagi TJ dan TPE. Jatuhnya harga minyak dan berbagai komoditas andalan yang lain selama periode 1982-1986 memaksa pemerintah mengubah strategi industrialisasinya dari subsitusi impor menjadi strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor. Perubahan ini tentu saja punya banyak implikasi kepada industri tekstil yang selama ini telah menjadi primadona dalam menopang industrialisasi Indonesia. Sejak tahun 1980-an tekstil memang telah menjadi komoditas yang begitu penting dalam menunjang ekspor Indonesia. Perubahan orientasi strategi industrialisasi Indonesia yang lebih berorientasi ekspor menyebabkan semakin banyak insentif diberikan kepada industri tekstil untuk terus meningkatkan volume produksinya demi mencapai target ekspor yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Karena pasar ekspor lebih demanding terhadap kualitas, delivery time dan harga, maka para industrialist di industri tekstil harus berbenah. Salah satu hal penting yang harus dilakukan oleh para industrialist ini adalah mengganti semua mesin yang telah usang dengan mesin yang lebih canggih dan modern untuk mencapai standar yang diinginkan oleh konsumen di negara-negara tujuan ekspor. Modernisasi mesin ini juga penting untuk meningkatkan daya saing produk tekstil Indonesia guna dapat bersaing dengan komoditas tekstil dari negara-negara Asia lainnya di pasar internasional.

Lingkungan internal Grup Texmaco pun begitu dinamis dan mendorong berbagai perubahan sebagai sebuah grup bisnis. Tahun 1987 misalnya, TTS �perusahaan kimia, -telah mampu mengembangkan polymer chips, yaitu bahan baku untuk membuat benang. Kemampuan TTS dalam mengembangkan polymer chips ini mau tidak mau memaksa TJ untuk berbenah untuk meningkatkan volume dan kualitas produksinya. Texmaco Jaya kini tak lagi punya delay time untuk menunggu bahan baku impor, karena kini telah mampu dikembangkan sendiri di TTS. Terlihat sekali di sini, bahwa sebuah keberhasilan inovasi ternyata tak hadir dalam sebuah kevakuman. Terobosan inovasi teknologi di TTS ternyata merangsang dan mendorong perusahaan lain dari Texmaco Grup, seperti TJ dan TPE untuk merespon, berubah dan kemudian tumbuh berkembang.

Sebagai respon terhadap dinamika lingkungan eksternal dan internal, pada akhir 1987, Mr Sinivasan dan tim kecil TPE menghadiri pameran mesin tekstil di Hannover (Jerman) untuk melihat state of the arts dari mesin-mesin tekstil. Di pameran tekstil tersebut Mr Sinivasan dan tim tertarik dengan sebuah rapier looms buatan Pignon (Italia) yang kebetulan dipamerkan secara 'telanjang'. Rapier looms buatan Italia ini bentuknya ternyata lebih sederhana dibandingkan dengan rapier looms buatan Picanol (Belgia) yang selama ini sudah dimiliki oleh Texmaco. Karena yakin dengan kemampuan teknologi yang dimiliki, Mr Sinivasan sebagai pimpinan TPE menantang para teknisi TPE untuk membuat mesin serupa dengan Pignon ini. Dan setelah mengamati rapier looms Italia ini secara detil, para teknisi TPE yakin bahwa dengan berbagai alat dan fasilitas yang sudah ada di Texmaco mereka sebenarnya sudah bisa menciptakan rapier looms serupa Pignon. Di pameran tersebut terjadi dialog panjang dan cukup detil antara teknisi Pignon dan teknisi TPE. Dari dialog ini, tim TPE semakin yakin bahwa mereka sebentar lagi mereka sudah mampu memproduksi rapier looms sendiri. Mr Sinivasan kemudian mengutarakan niatnya untuk membeli rapier looms buatan Pignon. Pignon kemudian mengundang Mr Sinivasan atau teknisi TPE untuk datang ke Italia, mengunjungi pabrik Pignon untuk menyaksikan bagaimana rapier looms tersebut secara langsung dibuat di sana.

Pada awal tahun 1988, TPE mengirim 3 teknisinya ke Pabrik Pignon di Italia. Di sana mereka ditunjukkan tentang bagaimana rapier looms serta komponen-komponennya dirancang dan diproduksi. Selama dua minggu teknisi-teknisi TPE berada di Pignon mengamati, mengeksplorasi berbagai hal yang berkaitan dengan rapier looms Pignon. Diskusi formal dan informal dilakukan teknisi TPE dan para teknisi Pignon tentang berbagai spesifikasi mesin dan komponen Pignon. Bahkan saking bersemangatnya para teknisi TPE sering menghabiskan malam-malam mereka berdiskusi panjang lebar di hotel tentang kemungkinan memproduksi mesin serupa Pignon di pabrik mereka di Texmaco. Dan seperti yang telah mereka perkirakan semula, sesungguhnya dengan alat dan fasilitas yang ada di Texmaco TPE sudah mempunyai kemampuan teknologi untuk memproduksi rapier looms..

Semua hasil pengamatan, pembelajaran dan pengalaman para teknisi TPE di pabrik Pignon kemudian dilaporkan ke Indonesia. Dan manajemen TPE kemudian memutuskan untuk membeli 3 rapier looms dari Pignon sebagai langkah awal. Alasan utama yang diberikan TPE kepada Pignon bahwa rapier looms tersebut akan dicoba dulu di Indonesia untuk proses pengenalan dan training.

Di pabrik Texmaco, 3 rapier looms yang dibeli dari Pignon ini kemudian dibongkar. Komponennya diteliti dan dinilai satu persatu. Mulai dipilah mana yang sudah bisa diproduksi di TPE dan mana yang belum. Dan seperti dugaan mereka hampir semua komponennya sudah bisa di produksi di Texmaco kecuali gear-nya. Gear yang tak bisa di produksi di Texmaco ini kemudian diimpor dari India.

Proses yang dibutuhkan teknisi TPE untuk 'meniru' atau melakukan proses imitasi terhadap rapier looms buatan Pignon �dari blueprint, pattern, casting dll �sampai kepada berhasilnya rapier looms buatan Texmaco dijalankan kira-kira delapan bulan lamanya. Dan dalam proses ini 10 tim teknisi inti terlibat dalam diskusi yang begitu intensif. Ke-10 anggota tim ini direkrut dari foundny, machining, assembling, pattern dan juga berasal dari TJ sebagai pemakai mesin.

Salah seorang anggota tim pembuatan rapier looms ini melukiskan suasana kerja tim TPE saat itu tak ubahnya seperti sebuah tim Formula 1. Ada mekanik di Pit dan ada driver di lintasan. Anggota tim dari foundry memberikan input dan berkonsentrasi tentang material mesin. Anggota tim yang dari machining dan assembling memberikan banyak input tentang prosesnya. Anggota tim dari pattern memberikan banyak input tentang desain serta anggota tim dari TJ memberikan banyak pula umpan balik dari pengalamannya sebagai pengguna mesin. Semua mereka menyatu dan bekerja bahu-membahu demi terealisasinya mimpi mereka untuk berhasil memproduksi rapier looms.

Selama delapan bulan proses pembuatan rapier looms Texmaco tersebut, tim TPE sebenarnya bekerja dalam lingkungan yang cukup menegangkan dan penuh dengan tuntutan. Betapa tidak Mr Sinivasan sudah terlanjur berjanji kepada pemerintah untuk memamerkan hasil produknya tersebut di Pameran Produk Indonesia 1 yang kebetulan akan dibuka oleh Presiden Soeharto. Ketegangan ini semakin menjadi-jadi karena rapier looms yang harus dihasilkan Texmaco tak boleh sama persis seperti yang telah dihasilkan Pignon. Menurut Mr Sinivasan, pasar Indonesia dan Italia berbeda dalam rasa, selera, permintaan dan daya belinya. Karenanya jika rapier looms buatan Pignon hanya bisa menghasilkan sejenis kain saja, maka rapier looms Texmaco harus mampu menghasilkan output yang berbeda, yang disesuaikan dengan target market yang ingin dituju. Pesan Mr Sinivasan sebagai 'big boss' semakin terasa gemanya dengan dibukanya 3 pabrik garmen baru dari Texmaco Grup di Bogor. Ketiga pabrik garmen ini ditujukan untuk melayani 3 segmen pasar yang berbeda. Output yang kualitasnya baik akan ditujukan untuk pasar-pasar ekspor. Sedang yang kualitasnya sedang dan biasa-�biasa saja akan ditujukan untuk melayani pasar dalam negeri. Keragaman jenis output yang diinginkan ini mau tidak mau 'memaksa' TPE untuk menghasilkan rapier looms yang spesifikasinya berbeda pula. Dan ini merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi mereka.

Setelah 8 bulan bekerja dengan banyak trial and error, modifikasi, dsb, 3 prototypes rapier looms made in Texmaco berhasil diciptakan untuk melayani 3 jenis output yang berbeda di akhir tahun 1988. Rapier looms made inTexmaco ini kemudian diberi merek PERKASA.


D. Mengembangkan Machine Tools dan Mesin Tekstil Modern lainnya dengan Lisensi Terbatas (1990 - 1995)

Pada akhir dekade 1980-an, ekonomi Indonesia terus tumbuh dengan sangat pesat. Pada periode 1988-1991 misalnya, ekonomi tumbuh rata-rata 9% per tahun. Dalam masa yang demikian menggembirakan ini Texmaco sebagai sebuah grup bisnis berhasil mengoptimalisasikan integrasi vertikal sebagai strategi bisnisnya. Hampir semua bahan baku untuk tekstil seperti polymer chips, benang dari polyster, fibre dan PTA (Purified Terephtalic Acid) telah berhasil diproduksi sendiri oleh TTS (bagian Texmaco grup di industri kimia). Dengan keberhasilan TTS ini memungkinkan Texmaco Jaya (perusahaan tekstil) menghasilkan beragam produk untuk berbagai kepentingan seperti cotton, polyster/cotton, polyster/rayon, woven fabrics, denim dan synthetic fabrics. Produk-produk ini selain untuk konsumsi pasar domestik juga untuk keperluan ekspor.

Perkembangan dan berbagai inovasi teknologi di TTS mendorong berbagai perubahan di TJ serta TPE. Begitu juga sebaliknya. Ketika TJ mencanangkan diri untuk mulai memposisikan diri sebagai salah satu pemain global di industri tekstil dunia, TPE sebagai penyedia mesin-mesin tekstil untuk TJ harus pula merespon tantangan ini secara serius pula. TPE kemudian mulai mencanangkan diri secara serius untuk menjadi penyedia mesin-mesin tekstil handal yang bertaraf dan berstandar internasional.

Untuk menjadi perusahaan handal di bidang perekayasaaan mesin-mesin tekstil bukanlah sebuah ilusi buat perusahaan semacam TPE. TPE dalam perkembangannya telah berhasil mengakumulasi tidak hanya kapasitas produksi yang memadai tetapi juga kemampuan teknologi yang luar biasa. Tersedianya TJ yang nota bene merupakan pabrik tekstil terbesar di Indonesia sebagai 'captive user' telah menjadi semacam laboratorium yang sangat kondusif buat tumbuh berkembangnya inovasi teknologi di TPE. Tetapi, untuk menjadi pemain handal di industri permesinan, TPE mau tidak mau harus pula melakukan modernisasi pada alat dan fasilitasnya. Komponen-komponen mesin berkualitas dengan presisi tinggi secara masif tak lagi bisa dihasilkan secara manual. Untuk itu keberadaan mesin perkakas (machine tools) menjadi semacam keniscayaan buat perkembangan TPE selanjutnya dalam menghasilkan mesin-mesin yang berkualitas. Machine tools-lah yang memungkinkan TPE menghasilkan komponen-�komponen berkualitas dengan prosesi tinggi dan akurat.

Menyadari pentingnya machine tools, pada tahun 1990, TPE kemudian mulai melakukan diversifikasi aktivitasnya ke machine tools ini dengan mengimpor 23 machine tools CNC (computerised numerically controlled) dari Mazak (Japan). Mazak dipilih karena kebetulan Mazaklah yang sanggup menyediakan kredit bagi TPE untuk pembelian mesin-mesin ini. Dan sebagai bagian dari deal pembelian, teknisi-teknisi TPE kemudian dilatih di Jepang dan di Singapura tentang bagaimana mengoperasikan, merawat dan memperbaiki CNC ini. Latihan ini tentu saja semakin menambah knowledge base dari teknisi TPE mengenai permesinan.

Sebagai bentuk keseriusan TPE dalam aktivitas di machine tools ini, divisi machine tools kemudian dipindahkan ke Karawang di areal yang sangat luas dan dilengkapi dengan fasilitas yang sangat modern.

Untuk sekedar memberi gambaran tentang betapa strategisnya machine tools ini dalam perkembangan sebuah perusahaan perekayasaan yang berkecimpung di mesin tekstil seperti TPE, informasi tentang mesin tekstil yang lengkap rasanya perlu diberikan gambaran. Mesin tekstil yang lengkap biasanya terdiri dari 3 bagian penting; preparatory, weaving dan processing/finishing. Preparatory machine adalah mesin yang digunakan untuk menghasilkan benang (yarn) yang siap untuk ditenun. Weaving machine adalah mesin yang akan menenun benang tadi menjadi kain. Processing/finishing machine adalah mesin yang akan menyelesaikan atau merubah berbagai kain hasil tenunan tadi menjadi beragam output seperti silk, denim, dll.

Sebelum TPE memiliki machine tools, TPE sebenarnya baru mampu menghasilkan weaving machines saja seperti shuttle looms dan rapier looms. Preparatory dan finishing machines masih diimpor oleh TJ dari Jepang, Jerman dan Italia. Ketersediaan machine tools yang ditunjang dengan telah terakumulasinya kapasitas produksi dan kemampuan teknologi yang baik, memungkinkan TPE kemudian mampu menghasilkan ketiga macam mesin tekstil tadi.

Didukung dengan proses pembelajaran teknologi yang terus menerus dari pengalaman berproduksi serta dipekerjakannya �tepatnya, dibajaknya �beberapa teknisi profesional yang sangat berpengalaman dari Jepang serta berbagai aliansi dan kerjasama strategis di bidang teknologi dengan perusahaan-perusahaan perekayasaan kelas dunia semacam ICBT Diedrichs (Prancis), Thies GmBH (Jerman), Mario Croasta dan MS Machinery (Italia) TPE berhasil mensejajarkan diri dengan produsen-produsen mesin tekstil kelas dunia. Tahun 1994 misalnya, TPE telah berhasil memproduksi mesin tekstil yang sangat canggih seperti water jet dan air jet weaving machines. Bahkan dengan lisensi terbatas dari Murata dan Tsukodama (Jepang), Beninger (Swiss) dan Barmag (Jerman) TPE berhasil mengembangkan high speed twisting machines, state of the arts stenters, dyeing dan rotary printing machines di akhir tahun 1994. Tahun 1995, TPE semakin berkiprah dalam menghasilkan mesin tekstil yang sangat canggih seperti two for one twisters, pirn winders, texturing machines dan ring spinning frames.

Keberadaan machine tools benar-benar telah merubah TPE menjadi perusahaan yang mampu menghasilkan komponen dan mesin-mesin tekstil yang handal. Selama proses menghasilkan komponen dan mesin tekstil, TPE ternyata berhasil juga mengembangkan dan menghasilkan komponen-komponen machine tools. Dan karena prospek bisnis TPE yang demikian menjanjikan, manajemen TJ dan TPE sepakat bahwa di masa depan TPE akan semakin membutuhkan lebih banyak lagi machine tools kalau tetap ingin berkembang. Karenanya manajemen TPE kemudian memutuskan bahwa TPE harus mampu menghasilkan machine tools-nya sendiri. Dari pengalaman dalam memproduksi berbagai komponen machine tools membuat harapan tersebut bukanlah sebuah pepesan kosong.

Walaupun TPE telah mampu mengakumulasi cukup kapasitas produksi dan kemampuan teknologi tentang machine tools, teknisi TPE menyadari bahwa machine tools seperti Mazak terlalu canggih dan sangat sulit untuk ditiru atau diimitasi. Jarak teknologinya masih terlalu jauh antara TPE dan Mazak. Apalagi manajemen Mazak memang tidak mau memberikan lisensi kepada TPE untuk mengembangkan machine tools di Indonesia. Untuk mengatasi masalah tersebut Mr Sinivasan dan tim dari TPE kemudian menghadiri machinery expo di Hannover (German) dan mencoba mencari lebih banyak informasi lagi tentang machine tools. Beruntung sekali mereka berhasil menemukan machine tools yang lebih sederhana buatan Casanov (Perancis) di pameran tersebut. TPE kemudian membeli 2 mesin Casanov dan membongkarnya secara detil di TPE di Indonesia. Ternyata hampir semua komponennya sudah bisa diproduksi di TPE kecuali Control System-nya. Beruntunglah pada akhir tahun 1995, TPE berhasil memperoleh lisensi dari Aciera (Swiss) untuk memproduksi dan mengembangkan machine tools di Indonesia. Sejak saat itu, TPE kemudian mengembangkan aktivitasnya tidak hanya sebatas memproduksi dan menghasilkan mesin-mesin tekstil tetapi juga menghasilkan mesin penghasil mesin tekstil (machine tools) dengan lisensi dari Aciera (Swiss).


E. Menjadi Indonesia's Leading Industrial Equipment and Machinery Manufacturers (1995-2000)

Berhasilnya TPE dalam memproduksi dan menghasilkan machine tools untuk keperluannya sendiri telah berhasil membuat TPE sebagai sebagai perusahaan terbesar yang menghasilkan mesin-mesin tekstil di Indonesia. Berbagai jenis mesin tekstil seperti tertera di Tabel 1 telah berhasil diproduksi oleh TPE.

Karena kemampuan teknologinya semakin baik dan didukung dengan fasilitas foundry yang juga baik, serta ditunjang pula dengan keberadaan machine tools di TPE, beberapa perusahaan otomotif dan perekayasaan internasional yang ada di Indonesia seperti Opel, GMBI, Izusu dan Yanmart mulai melakukan subkontrak beberapa komponennya ke TPE. Komponen yang banyak dikerjakan mulai tahun 1996 sebagian besar adalah komponen-komponen otomotif. Jadi mulai tahun 1996 itu, TPE tidak hanya terlibat dalam menghasilkan komponen mesin tekstil, mesin tekstil, komponen machine tools dan machine tools, tetapi juga sudah mempu memproduksi komponen-komponen otomotif dari hasil subkontrak perusahaan-perusahaan asing tadi.

Karena aktivitas TPE yang semakin beragam dan spektrumnya semakin lama semakin meluas maka machine tools yang lebih canggih semakin dibutuhkan untuk menghasilkan berbagai komponen yang lebih berkualitas dan reliable. Untuk keperluan itu TPE kemudian bekerjasama di bidang teknologi dengan membentuk perusahaan joint venture dengan Bridgeport Machines Inc dari USA untuk mengembangkan machine tools bridgeport series 1, the E-Z Trak Universal Milling Machines dan The Torq Cut Machining Centre. Dengan semakin banyak dan intensifnya kerjasama teknologi dengan Bridgeport dan Aciera TPE kini mampu menghasilkan beragam machine tools seperti tertera di Tabel 2. Keberhasilan TPE dalam mengembangkan machine tools yang semakin canggih memungkinkan lebih banyak lagi variasi komponen otomotif yang bisa diproduksi dan dihasilkan serta dalam volume yang relatif lebih besar.

Berdasarkan pengalaman dalam memproduksi komponen mesin tekstil, mesin tekstil, komponen machine tools, machine tools serta adanya bantuan teknis dari Bridgeport, Aciera dll, menyadarkan manajemen TPE bahwa untuk lebih maju lagi, TPE harus memodernisasi berbagai peralatannya lagi. Pada pertengahan tahun 1997, fasilitas casting dan foundry semakin dilengkapi dengan investasi yang sangat besar sehingga menjadi casting dan foundry termodern di Indonesia. Fasilitas yang lebih baik ini memungkinkan TPE memperoleh input yang lebih baik untuk mesin-mesin yang dihasilkan oleh TPE selanjutnya. Tidaklah mengherankan jika dalam perkembangan selanjutnva TPE berhasil memproduksi berbagai komponen otomotif sebagaimana tertera di Tabel 3.

Karena perkembangannya yang semakin baik dan semakin banyak permintaan subkontraktor dari luar TPE, TPE kembali membangun foundry yang sangat canggih di Kaliungu yang mampu menghasilkan heavy casting dari industri-industri berat. Foundry yang baru ini dilengkapi dengan laboratorium uji yang sangat canggih, CAD/CAM Centre, Well Equipped Pattern Shop dan berbagai fasilitas pendukung canggih lainnya. Keberadaan foundry dan casting yang mampu melayani industri-industri berat ini mendorong TPE kemudian untuk melebarkan aktivitasnya ke industri-industri berat pada tahun 1998.

Meluasnya aktivitas TPE ke industri berat ini sebenarnya dirangsang dan didorong oleh perkembangan TTS (perusahaan kimia Texmaco) yang bermetamorfosis menjadi PT Polysindo Eka Perkasa (PEP). Karena perkembangan yang demikian pesat dari Texmaco Jaya (perusahaan tekstil dan garmen) maka Texmaco merasa perlu untuk membangun sebuah pabrik atau perusahaan kimia yang lengkap dan canggih untuk mensuplai semua bahan baku yang dibutuhkan TJ. Pabrik yang baru ini membutuhkan alat�-alat berat dan perekayasaannya sekaligus. Dengan dibantu oleh teknisi dari Eastment Chemical Company (USA) dan John Brown Engineering (Jerman) teknisi TPE kemudian terlibat aktif dalam menyelesaikan PEP ini. Dengan knowledge base yang ada akhirnya proyek PEP ini selesai pada tahun 1997. Momentum ini merupakan langkah awal bagi TPE untuk aktif dan memperluas aktivitas bisnisnya di heavy fabrication.

Terlibatnya TPE di industri-industri berat serta semakin banyaknya fasilitas fisik yang modern membuat kapasitas dan kapabilitas teknologi TPE semakin membaik dan canggih. Kini dengan kemampuan yang ada TPE tidak lagi menunggu bola, menunggu pesanan tapi sudah mulai aktif mencari pelanggan dengan menghadiri berbagai pameran perdagangan di luar negeri dan memamerkan produk-produk engineering-�nya. Akibatnya perusahaan-perusahaan kelas dunia semacam GE mulai melakukan subkontrak untuk produk-produk heavy fabrication-nya ke TPE.

Pengalaman-pengalaman memproduksi serta berinteraksi dengan pemain-pemain global menyebabkan TPE kini mampu menghasilkan berbagai produk di heavy engineering dan fabrication seperti tertera di Tabel 4.

Karena TPE telah memiliki kemampuan teknologi yang sangat tinggi dalam heavy engineering and fabrication, semua produknya kemudian dapat dibuat sesuai spesifikasi pelanggan (customised) dan mengikuti standar internasional. Hal ini terbukti dengan diperolehnya berbagai macam penghargaan internasional seperti 'Certification of Authorization' oleh American Society of Mechanical Engineers (ASME) untuk produk-produk alat berat TPE.

Perkembangan kemampuan teknologi TFE semakin membaik dalam industri berat dengan diadakannya berbagai aliansi strategis dalam bidang teknologi dengan Murray and Roberts dari Afrika Selatan, PLN Indonesia dan PT Rekayasa Industri Indonesia dalam mengembangkan proyek-proyek berskala besar di Indonesia bahkan di luar negeri seperti tertera di Tabel 5.

Di sektor otomotif, TPE telah berhasil memproduksi hampir semua komponen otomotif. Dan ini mendorong TPE untuk semakin mengembangkan bisnisnya ke bidang otomotif. Untuk ini, dalam rangka semakin memperkuat kemampuan teknologinya TPE telah berhasil bekerjasama dalam bidang teknologi dengan Cummins (USA) untuk permesinan, ZF (Jerman) untuk roda gigi dan transmisi, Steyr (Austria) untuk permesinan dan as roda, dan Eaton (USA) untuk as roda.

Dengan berbagai kemampuan teknologi serta bantuan teknis dari global players di industri otomotif semacam Leyland (UK), Terex (USA) dan Matra (Perancis) tidaklah mengherankan jika tahun 1999 TPE berhasil meluncurkan truk buatannya sendiri dengan merek Perkasa. Dan kiprah TPE sebagai Indonesia's Leading Industrial Equipment and Machinery Manufacturer semakin menemukan maknanya ketika TPE berhasil meluncurkan traktor tangan untuk petani Indonesia di tahun 1999.

Penutup

Namun sayangnya, di awal tahun 2000, segenap permasalahan menyangkut utang Texmaco dan sejumlah anak perusahaannya terkuak ke permukaan. Texmaco ditengarai memiliki utang sebesar Rp 30 triliun lebih. Industri strategis yang sudah dibangun dengan susah payah ini pun akhirnya ambruk, terlilit benang kusut yang tampaknya takkan pernah terurai. Bahkan sebaliknya, kasus ini malah semakin ruwet dan menyerempet ke urusan politik. Proses pembelajaran teknologi yang dilakukan pun akhirnya layu setelah berkembang. Tentunya perlu upaya yang keras dari semua pihak yang terlibat untuk menyelamatkan industri strategis ini kembali. Bukan semata-mata menyelamatkan perusahaannya, tetapi �yang lebih penting dari itu adalah �menyelamatkan proses pembelajaran teknologi yang telah dialami oleh anak bangsa ini selama berpuluh tahun. Tentu proses ini sendiri tak ternilai harganya.

DR. Zulkieflimansyah, Ph.D. © 2010

Sumber: 
http://arsipiptek.blogspot.com/2011/03/pt-texmaco-dinamika-inovasi-teknologi-2.html

Tidak ada komentar: