Welcome

News Industri Indonesia

Sabtu, 19 Oktober 2013

Indonesia Akan Olah Hasil Tambang Sendiri

Smelter

Kementerian Energi dan Sumber Daya hanya meloloskan 23 dari 285 proposal pembangunan smelter yang mulai beroperasi pada 2014. Waskita Guna Corporation menggandeng investor dari Malaysia, Aneka Tambang ajak investor dari Australia kerja sama mengolah bijih besi. Nilai investasi pembangunan smelter nikel di Sulawesi dan Maluku sebesar Rp36 triliun berkapasitas 2,7 juta ton bijih nikel.

Pemerintah memperkirakan setidaknya sebanyak 11 pabrik pengolahan (smelter) bijih besi beroperasi pada pertengahan tahun 2014 hingga awal tahun 2015.  Meski smelter yang dibangun masih sedikit, namun  Kementerian Eenergi dan Sumber Daya Mineral  tetap akan memberlakukan pelarangan ekspor bijih pada mulai tahun 2014.
Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Thamrin Sihite, pihaknya menerima 285 proposal pembangunan smelter dan setelah dievaluasi,  hanya 23 proposal yang disetujui.  Sihite mangatakan bahwa pabrik smelter yang mulai dibangun itu dijamin bahwa bahan bakunya pasti terpenuhi karena pihaknya sudah mengevaluasi cadangan yang tersedia di Indonesia.
Oleh karena itu,  pemerintah konsisten memberlakukan pelarangan ekspor bijih besi pada tahun 2014—sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara dan diperkuat kembali dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012.
“Tetap akan dilarang,  mereka yang serius membangun smelter itu justru menentang adanya ekspor bijih,” tandas Direktur Pembinaan Mineral Dede I Suhendar.  Pemberian tenggang dengan pelarangan ekspor bijih ditunda dinilai tidak adil bagi perusahaan yang telah membangun pabrik smelter.
Terdapat jeda waktu antara pemberlakuan pelarangan dan jadwal beroperasinya smelter.  Pelarang ekspor bijih diberlakukan mulai 1 Januari 2014,  sementara smelter kebanyakan baru selesai pada pertengahan 2014.
Untuk itu,  Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo mengatakan,  pihaknya akan memberikan rekomendasi ekspor bagi perusahaan yang serius menggarap smelter.  Sementara pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang tidak membangun smelter tetap akan dilarang mengekspor bijih.
Malaysia dan Australia ikut serta
Sementara itu, PT Aneka Tambang Tbk (Antam) dan perusahaan tambang Australia,  Direct Nickel Limited (DNi) bekerja sama membangun pabrik pengolahan nikel (smelter) di Indonesia dengan investasi sebesar US$400 juta atau sekitar Rp3,8 triliun.
Presiden Direktur DNi Russell Debney mengatakan,  kerja sama itu merupakan strategi DNi untuk mengembangkan teknologi DNi. Proces yang revolusioner dengan kerja sama antarperusahaan pertambangan kelas dunia yang memiliki sumber daya nikel dan kapabilitas internal untuk memanfaatkan keterbatasan suplai nikel pada masa depan.
Meski penandatanganan perjanjian kerja sama itu merupakan kelanjutan dari pengembangan head of agreement(HoA) yang ditandatangani Antam dan DNi pada 31 Mei 2012, namun belum dijelaskan di mana tepatnya lokasi pembangunan pabrik ini.
“Pembangunan pabrik  membutuhkan dana investasi sebesar US$400 juta dengan kapasitas pabrik pengolahan nikel hingga 10.000 ton,” ucap Russel.
Dalam perjanjian kerja sama itu,  kedua perusahaan akan melanjutkan kerja sama dalam operasi Test Plant milik DNi di Perth, Australia untuk memmroduksi nickel mixed hydroxide dan mengkaji bersama hasil teknis dari pabrik tersebut,  yang saat ini mengolah sample sebanyak 200 ton nikel laterit dari Antam.
Direktur Utama Antam Tato Miraza,  menjelaskan kerja sama Antam dengan DNi memiliki prosepek yang menjanjikan untuk secara signifikan meningkatkan efisiensi dan keekonomian pengolahan nikel laterit.
Tanto menjelaskan bahwa tahun 2014, pemerintah melakukan pengendalian ekspor,  hal ini tentunya sangat menguntungkan karena dapat membuat harga komoditas ini membaik.
Bukan hanya Antam yang bekerja dengan perusahaan asing. PT Waskita Guna Lestari salah satu  anak usaha Waskita Guna Corporation menggandeng investor asal Malaysia untuk membangun unit pengolahan dan pemurnian (smelter) komoditas bijih besi. Kebutuhan investasi untuk pembangunan smelter ditaksir mencapai Rp30 miliar dengan kapasitas 180.000 ton per tahun.
Sophian Rauji,  General Manager Waskita Guna Lestari menyatakan,  pembicaraan dengan investor dari Malaysia sudah dibicarakan.  “Kami sedang mempersiapkan feasibility study.  Kami masih akan membuka diri untuk mencari investor lainnya,” tutur Sophian.
Waskita memiliki areal konsesi izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi di Lampung Selatan seluas 100 hektare (ha).  Perusahaan ini pun baru memulai kegiatan produksi dan ekspor pada Juni 2013—setelah mengantongi sertifikat clean and clear (CnC) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Hingga Desember 2013,  perusahaan Waskita memegang kuota ekspor sebanyak 200.000 ton bijih besi dan hingga pertengahan Juli 2013, Waskita telah merealisasikan ekspor sebanyak 12.000 ton yang umumnya diserap oleh pasar China dan negara kawasan Asia lainnya.
Menurut Sophian,  Waskita mengekspor bijih besi dengan kualitas kadar Fe di atas 60 persen. Harga jual mineral mentah tersebut lumayan tinggi—rata-rata mencapai US$89 per ton.  Jika nantinya,  berhasil membangun smelter,  pihaknya akan menghasilkan produk akhirnya berupa besi dalam bentuk batangan bulat dan batangan persegi.  Penjualan produk bergantung  pada kesepakatan dengan investor yang digandeng oleh Waskita.
Sophian menjelaskan,  pembangunan smelter bijih besi ini tergolong murah lantaran pihaknya akan menggunakan bahan bakar batubara untuk media pelelehan bijih besi.  “Teknologi yang kami gunakan sangat sederhana,  sehingga biayanya tidak terlalu mahal.  Pengangkutan produk juga berdekatan dengan Pelabuhan Panjang,” ujar Sophian.
Waskita menargetkan pembangunan smelter tersebut tidak membutuhkan waktu yang lama,  sehingga pada akhir 2014 mendatang perusahaan itu sudah dapat mengekspor besi batangan.
Pihak Bank Indonesia menyatakan komitmen investasi pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel di Sulawesi dan Maluku mencapai Rp36 triliun dengan kapasitas sekitar 2,7 juta ton bijih nikel.
Lokasi pembangunan smelter itu berada di enam wilayah yakni,  yang pertama adalah pabrik pemurnian nikel dibangun di Buli,  Kabupaten Halmahera Timur,  Maluku Utara,  dengan estimasi nilai proyek sekitar US$1,6 miliar.
Bentuknya adalah penambangan bijih nikel dan pembangunan pabrik feronikel berkapasitas 27.000 ton nikel dalam feronikel.  Selain itu,  juga pembelian tenaga listrik dari PLN selama 30 tahun untuk operasi dan infrastruktur proyek Feronikel Halmahera.
yang kedua,  investasi di Konawe Utara,  Sulawesi Tenggara,  pada 2013 berupa PLTU Pomala sekitar Rp200 miliar dan investasi pada 2014 pada pabrik feronikel dan pabrik baja tahan karat (stainless steel) Konawe Utara.   Ketiga,  di Molore,  Konawe Utara dengan nilai investasi mencapai US$1,8 miliar untuk pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian bijih nikel.
Penandatanganan kerja sama untuk proyek smelter dilakukan pada 19 Juni 2013 antara Ibris Nickel Pte Ltd dan Yong-Xing Alloy Materials Technology Taizhou Co Ltd. Ibris Nickel memiliki anak perusahaan PT Stargate Pasific Resources sebagai pemilik izin usaha pertambangan (IUP) bijih nikel di Konawe Utara.
Yang keempat adalah proyek  di Jeneponto,  Sulawesi Selatan,  yang fokus untuk pembangunan smelter nikel di atas lahan seluas 60 hektare senilai US$300 juta (2013). Selanjutnya yang kelima,  di Morowali,  Sulawesi Tengah,  dengan nilai proyek pembangunan pabrik pemurnian nikel senilai US$1,06 miliar (Rp10,3 triliun),  US$960 juta untuk smelter dan pembangkit listrik,  dan US$100 juta untuk pengembangan tambang dan pembangunan fasilitas pendukung. Pemerintah menyatakan terdapat 23 pabrik pengolahan bijih tambang atau smelter yang akan beroperasi  pada 2014.  Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Dede Ida Suhendar mengatakan 23 smelter tersebut mengolah komoditas bijih besi,  bauksit,  mangan dan zirkon.
Sementara itu, komoditas tambang yang belum dapat mengolah bijih dan belum memiliki smelter adalah tembaga.   Hal itu disebabkan pasokan tembaga hanya berasal dari PT Freeport dan PT Newmont. Untuk itu, pemerintah sedang menunggu komitmen kedua perusahaan itu untuk bekerja sama dengan perusahaan nasional. (Sumber: tender-indonesia.com)
Sumber: MM-Industri

Tidak ada komentar: