JAKARTA, Asosiasi Pengusaha Kehutanan Indonesia (APHI) menduga ada kepentingan korporasi global yang menginginkan industri kehutanan nasional tidak berkembang. Alhasil, pemanfaatan hasil sektor kehutanan bagi negara tidak lagi dapat dioptimalkan secara maksimal.
Wakil Ketua Umum APHI Bidang Ekonomi Pemasaran David menilai, kepentingan aliansi global itu kerap menggunakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk melakukan kampanye hitam di kancah internasional tentang pengelolaan hutan di tanah air. Industri kehutanan nasional dinilai sebagai sunset industry alias industri yang tidak memiliki prospek bisnis.
Bahkan, aksi LSM mampu menekan pemerintah menelurkan kebijakan yang merugikan industri kehutanan nasional. "Namun, di sisi lain memberi ruang industri kehutanan asing baik hulu maupun hilirnya terus berkembang," ujar David.
Wakil Ketua Umum APHI Bidang Hutan Alam, Nana Suparna, menuturkan, asing mengakui tipologi tanah hutan Indonesia yang subur dan iklim tropis yang dihiasi dua musim adalah keunggulan komparatif yang bisa memacu pertumbuhan hutan tanaman lebih cepat.
Misalnya, hutan sengon minimal rakyat mencapai 30 meter kubik per hektare (m3 per ha) dalam waktu delapan tahun. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat dan China yang memilki empat musim membuat potensi pertumbuhan kayu sengon tidak sampai 10 m3 per ha. "Kalau hutan di Indonesia, dengan menganut tata kelola hutan lestari dibiarkan begitu saja bisa tumbuh. Tapi kalau di Amerika harus membutuhkan pelbagai riset agar bisa tumbuh," terangnya.
Nana menyesalkan, kuatnya lobi asing terhadap pemerintah membuat Kementerian Kehutanan sulit melepaskan izin pengusahaan yang berada pada kawasan cadangan kehutanan seluas 30 juta ha.
Padahal, menurut David, industriawan hanya membutuhkan lahan 14 juta ha yang akan digunakan sebagai hutan tanaman industri (HTI).
Menurutnya, dengan prinsip pengelolaan hutan lestari, industri kehutanan Indonesia berpotensi memperoleh bahan baku kayu sebanyak 362,5 juta m3 dengan nilai devisa yang dihasilkan mencapai US$ 70 miliar. Sayangnya, lobi asing berkeinginan membuat industri kehutanan nasional terus menjelma sebagai raksasa tidur.
Akibat lobi dan kepentingan asing itu,sambung David, Kemenhut melarang ekspor kayu log sejak 10 tahun lalu. Keinginan pemerintah agar industri pengolahan kayu di luar Jawa berkembang, realitasnya tidak terbukti. Di sisi lain, akibat pelarangan itu industri hulu kehutanan tidak berkembang.
"Kayu sawn timber grade A dihargai US $ 1.000 dolar per m3 . Tapi pemerintah menginginkan industri pengolahan maju, membuat industri kayu lapis hanya dihargai US$ 600," ujar Davids seraya berharap agar kebijakan ini dapat ditinjau kembali. Bandingkan dengan industri kehutanan China. Tahun 1991, China baru mengekspor 1 juta m3 produk panel kayu. Sementara tahun 2009, ekspornya meningkat menjadi 120 juta m3. Tahun lalu dikabarkan, ekspornya sudah mencapai 150 juta m3. Berbanding terbalik dengan Indonesia, tahun 1991, ekspor kayu panel pernah mencapai 10 juta m3. Namun, hingga tahun lalu surut tinggal 3 juta m3.
Sumber : Kabar Bisnis
Wakil Ketua Umum APHI Bidang Ekonomi Pemasaran David menilai, kepentingan aliansi global itu kerap menggunakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk melakukan kampanye hitam di kancah internasional tentang pengelolaan hutan di tanah air. Industri kehutanan nasional dinilai sebagai sunset industry alias industri yang tidak memiliki prospek bisnis.
Bahkan, aksi LSM mampu menekan pemerintah menelurkan kebijakan yang merugikan industri kehutanan nasional. "Namun, di sisi lain memberi ruang industri kehutanan asing baik hulu maupun hilirnya terus berkembang," ujar David.
Wakil Ketua Umum APHI Bidang Hutan Alam, Nana Suparna, menuturkan, asing mengakui tipologi tanah hutan Indonesia yang subur dan iklim tropis yang dihiasi dua musim adalah keunggulan komparatif yang bisa memacu pertumbuhan hutan tanaman lebih cepat.
Misalnya, hutan sengon minimal rakyat mencapai 30 meter kubik per hektare (m3 per ha) dalam waktu delapan tahun. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat dan China yang memilki empat musim membuat potensi pertumbuhan kayu sengon tidak sampai 10 m3 per ha. "Kalau hutan di Indonesia, dengan menganut tata kelola hutan lestari dibiarkan begitu saja bisa tumbuh. Tapi kalau di Amerika harus membutuhkan pelbagai riset agar bisa tumbuh," terangnya.
Nana menyesalkan, kuatnya lobi asing terhadap pemerintah membuat Kementerian Kehutanan sulit melepaskan izin pengusahaan yang berada pada kawasan cadangan kehutanan seluas 30 juta ha.
Padahal, menurut David, industriawan hanya membutuhkan lahan 14 juta ha yang akan digunakan sebagai hutan tanaman industri (HTI).
Menurutnya, dengan prinsip pengelolaan hutan lestari, industri kehutanan Indonesia berpotensi memperoleh bahan baku kayu sebanyak 362,5 juta m3 dengan nilai devisa yang dihasilkan mencapai US$ 70 miliar. Sayangnya, lobi asing berkeinginan membuat industri kehutanan nasional terus menjelma sebagai raksasa tidur.
Akibat lobi dan kepentingan asing itu,sambung David, Kemenhut melarang ekspor kayu log sejak 10 tahun lalu. Keinginan pemerintah agar industri pengolahan kayu di luar Jawa berkembang, realitasnya tidak terbukti. Di sisi lain, akibat pelarangan itu industri hulu kehutanan tidak berkembang.
"Kayu sawn timber grade A dihargai US $ 1.000 dolar per m3 . Tapi pemerintah menginginkan industri pengolahan maju, membuat industri kayu lapis hanya dihargai US$ 600," ujar Davids seraya berharap agar kebijakan ini dapat ditinjau kembali. Bandingkan dengan industri kehutanan China. Tahun 1991, China baru mengekspor 1 juta m3 produk panel kayu. Sementara tahun 2009, ekspornya meningkat menjadi 120 juta m3. Tahun lalu dikabarkan, ekspornya sudah mencapai 150 juta m3. Berbanding terbalik dengan Indonesia, tahun 1991, ekspor kayu panel pernah mencapai 10 juta m3. Namun, hingga tahun lalu surut tinggal 3 juta m3.
Sumber : Kabar Bisnis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar