Jakarta, Pemerintah menyatakan bakal siap mengajukan renegosiasi kontrak karya pertambangan dengan perusahaan tambang di Indonesia. Tujuannya agar bagi hasil adil dan tidak ada yang ditutup-tutupi.
Wakil Menteri ESDM, Widjajono Partowidagdo menyampaikan, renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan dan PKP2B memang harus mengikuti peraturan baru yang ditetapkan pemerintah. Jika tidak mau, maka pemerintah menuntut perusahaan tambang blak-blakan soal pendapatanya.
Hal ini disampaikan Widjajano ketika berbincang dengan sejumlah wartawan di kantornya, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Kamis (20/10/2011).
"Teknisnya saya memang belum tahu betul, tapi pada dasarnya, seperti perusahaan minyak, bagi hasil itu kan berdasarkan kontraknya. Pertambangan umum itu kan royalti dan pajaknya berlaku di negara yang hukumnya sudah baik. Jadi tergantung kepada peraturannya," tanggapnya.
"Jangan mau kalah sama orang asing, yang megang keputusan di kita harus mengerti permasalahan," cetus Guru Besar ITB ini.
Jadi, semua yang sudah diatur dalam peraturan yang ada harus bergantung pada peraturan yang berlaku. "Jadi kontraktor harus didorong sesuai peraturan, dan secara legal sudah beres," terang Widjajono.
"Kita kan sudah ada peraturannya. Kita juga punya alasan untuk membuat peraturan itu. Renegosiasi itu kan amanat UU 4/2009 kan diamanatkan dalam ketentuan yang sebelumnya harus disesuaikan dengan UU. Jadi kalau tadi pertambangan ada yang royalti 1% itu ya harus ikuti ketentuan sekarang," ungkapnya.
Seperti diketahui, saat ini PT Freeport Indonesia sebagai pemilik tambang emas dan tembaga terbesar di dunia yang berada di Papua hanya menyetor royalti 1% saja. Padahal menurut ketentuan adalah 3,75%.
Menurutnya, jika kontraktor tidak mau menuruti renegosiasi tersebut. Lebih baik langsung saja lakukan sistem transparan yang lebih 'blak-blakan'. Agar lebih jelas, berapa perusahaan tambang terima dan berapa pemerintah yang harus terima.
"Kita bisa buka-bukaan, kan mereka (kontraktor tambang) dapat berapa kita dapat berapa. Transparan sekalian. Kalau dia dapat lebih banyak dari kita ya nggak setujulah. Kalau keuntungan si perusahaan terlalu banyak ya janganlah," tegasnya.
Dirinya menjelaskan, renegosiasi ini akan terus dilakukan dengan pertimbangan usulan-usulan dari asosiasi terkait, pengusaha, dan juga pemerintah.
Menurutnya, kontrak karya pertambangan tersebut pendapatannya berada dalam kuasa manajemen perusahaan sendiri. Berbeda dengan kontrak bagi hasil migas yang diaudit oleh BP Migas.
"Kalau kontraktor pertambangan kan yang penting dia bayar pajak dan royalti. Dia punya revenue yang harus dibagi untuk cost production dia, untuk dia, dan pemerintah. Maka itu harus jelas auditnya, berapa yang dia dapat dan pemerintah dapat, kalau sulit renegosiasi sekalian saja buka-bukaan," tukasnya.
Sumber : Detik Finance
Wakil Menteri ESDM, Widjajono Partowidagdo menyampaikan, renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan dan PKP2B memang harus mengikuti peraturan baru yang ditetapkan pemerintah. Jika tidak mau, maka pemerintah menuntut perusahaan tambang blak-blakan soal pendapatanya.
Hal ini disampaikan Widjajano ketika berbincang dengan sejumlah wartawan di kantornya, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Kamis (20/10/2011).
"Teknisnya saya memang belum tahu betul, tapi pada dasarnya, seperti perusahaan minyak, bagi hasil itu kan berdasarkan kontraknya. Pertambangan umum itu kan royalti dan pajaknya berlaku di negara yang hukumnya sudah baik. Jadi tergantung kepada peraturannya," tanggapnya.
"Jangan mau kalah sama orang asing, yang megang keputusan di kita harus mengerti permasalahan," cetus Guru Besar ITB ini.
Jadi, semua yang sudah diatur dalam peraturan yang ada harus bergantung pada peraturan yang berlaku. "Jadi kontraktor harus didorong sesuai peraturan, dan secara legal sudah beres," terang Widjajono.
"Kita kan sudah ada peraturannya. Kita juga punya alasan untuk membuat peraturan itu. Renegosiasi itu kan amanat UU 4/2009 kan diamanatkan dalam ketentuan yang sebelumnya harus disesuaikan dengan UU. Jadi kalau tadi pertambangan ada yang royalti 1% itu ya harus ikuti ketentuan sekarang," ungkapnya.
Seperti diketahui, saat ini PT Freeport Indonesia sebagai pemilik tambang emas dan tembaga terbesar di dunia yang berada di Papua hanya menyetor royalti 1% saja. Padahal menurut ketentuan adalah 3,75%.
Menurutnya, jika kontraktor tidak mau menuruti renegosiasi tersebut. Lebih baik langsung saja lakukan sistem transparan yang lebih 'blak-blakan'. Agar lebih jelas, berapa perusahaan tambang terima dan berapa pemerintah yang harus terima.
"Kita bisa buka-bukaan, kan mereka (kontraktor tambang) dapat berapa kita dapat berapa. Transparan sekalian. Kalau dia dapat lebih banyak dari kita ya nggak setujulah. Kalau keuntungan si perusahaan terlalu banyak ya janganlah," tegasnya.
Dirinya menjelaskan, renegosiasi ini akan terus dilakukan dengan pertimbangan usulan-usulan dari asosiasi terkait, pengusaha, dan juga pemerintah.
Menurutnya, kontrak karya pertambangan tersebut pendapatannya berada dalam kuasa manajemen perusahaan sendiri. Berbeda dengan kontrak bagi hasil migas yang diaudit oleh BP Migas.
"Kalau kontraktor pertambangan kan yang penting dia bayar pajak dan royalti. Dia punya revenue yang harus dibagi untuk cost production dia, untuk dia, dan pemerintah. Maka itu harus jelas auditnya, berapa yang dia dapat dan pemerintah dapat, kalau sulit renegosiasi sekalian saja buka-bukaan," tukasnya.
Sumber : Detik Finance
Tidak ada komentar:
Posting Komentar