JAKARTA Langkah Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) keluar dari keanggotaan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) diharapkan menjadi momentum bagi penerapan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai standar pelestarian lingkungan pada industri kelapa sawit nasional.
Hal itu sebagai upaya agar ISPO dapat meningkatkan posisi tawar CPO Indonesia di pasar internasional. “Dibutuhkan waktu dan kerja keras untuk membuat ISPO ini benar-benar diakui dunia dan kerjakeras itu harus dimulai saat ini,”kata Ketua Pelaksana Harian Komisi Minyak Sawit Indonesia (KMSI) Rosediana Soeharto di Jakarta kemarin. Menurut Rosediana, kerja keras disertai konsistensi itu sangat diperlukan, mengingat ISPO baru saja diperkenalkan oleh Pemerintah Indonesia.
Diperlukan kesadaran dan upaya bersama dari seluruh pemangku kepentingan industri kelapa sawit nasional untuk mewujudkan ISPO sebagai platform yang mendapat pengakuan dari negara-negara lain, khususnya negara tujuan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia. ISPO memang tidak memuat larangan bagi perusa-haan- perusahaan sawit nasional secara individual untuk mengikuti standar lain mengenai praktik-praktik menjaga kelestarian lingkungan.
Pasalnya, negara-negara tujuan ekspor masih belum dapat mengakui ISPO sebagai standar internasional mengenai kelestarian lingkungan. “Karena itu seharusnya ISPO ini diterapkan secara penuh, dimulai dari perusahaan-perusahaan di dalam negeri terlebih dahulu sampai kita mendapat pengakuan tersebut,”tuturnya.
Menanggapi klaim dari Sekjen RSPO Darrel Webber bahwa terjadi peningkatan penyerapan pasar terhadap minyak sawit besertifikat lestari hingga 70%, Rosediana me-nyatakan bahwa hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Rosediana bahkan meyakini keputusan Gapki keluar dari RSPO tidak akan memengaruhi kinerja ekspor CPO Indonesia. “Meskipun banyak perusahaan di Eropa dan Amerika Serikat mengakui RSPO, tetapi ekspor CPO Indonesia tidak hanya ke sana.
Ekspor CPO kita ke dua zona ekonomi itu juga tidak banyak, jadi tidak akan berpengaruh,”ujarnya. Terpisah,anggota Komisi IV DPR I Made Urip mengatakan, keluarnya Gapki dari RSPO disebabkan adanya berbagai kebijakan dan regulasi yang tidak berimbang dan kurang aspiratif terhadap kepentingan produsen. “Sebelum keluar mereka pasti sudah hitung untung ruginya.
Misalnya ada boikot dari Eropa,apakah tanpa menjadi anggota RSPO kita mampu menghadapi itu?”kata Made. Made menyatakan, dalam memasuki pasar global, pengusaha sawit tidak bisa bermain sendiri. Harus ada komunikasi dan kerja sama yang terjalin dengan negara lain, serta dukungan dari regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah.
Dia yakin, jika posisi Indonesia sudah kuat, maka keluarnya Gapki dari keanggotaan RSPO tidak akan menimbulkan masalah. “Karena itu, Gapki juga harus memperkuat kerja sama dengan para produsen minyak sawit dari negara-negara lain, terutama dari Malaysia untuk bersama-sama menghadapi tekanan-tekanan para pembeli maupun pemerintah dari negara industri maju,”ujarnya.
Made pun mendukung komitmen asosiasi tersebut untuk mendorong terwujudnya ISPO sebagai platform sustainability di Indonesia yang bersifat wajib. Komitmen itu sangat penting karena masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera dikerjakan agar ISPO dapat diakui dan diterima secara internasional.
Sumber : Seputar Indonesia
Hal itu sebagai upaya agar ISPO dapat meningkatkan posisi tawar CPO Indonesia di pasar internasional. “Dibutuhkan waktu dan kerja keras untuk membuat ISPO ini benar-benar diakui dunia dan kerjakeras itu harus dimulai saat ini,”kata Ketua Pelaksana Harian Komisi Minyak Sawit Indonesia (KMSI) Rosediana Soeharto di Jakarta kemarin. Menurut Rosediana, kerja keras disertai konsistensi itu sangat diperlukan, mengingat ISPO baru saja diperkenalkan oleh Pemerintah Indonesia.
Diperlukan kesadaran dan upaya bersama dari seluruh pemangku kepentingan industri kelapa sawit nasional untuk mewujudkan ISPO sebagai platform yang mendapat pengakuan dari negara-negara lain, khususnya negara tujuan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia. ISPO memang tidak memuat larangan bagi perusa-haan- perusahaan sawit nasional secara individual untuk mengikuti standar lain mengenai praktik-praktik menjaga kelestarian lingkungan.
Pasalnya, negara-negara tujuan ekspor masih belum dapat mengakui ISPO sebagai standar internasional mengenai kelestarian lingkungan. “Karena itu seharusnya ISPO ini diterapkan secara penuh, dimulai dari perusahaan-perusahaan di dalam negeri terlebih dahulu sampai kita mendapat pengakuan tersebut,”tuturnya.
Menanggapi klaim dari Sekjen RSPO Darrel Webber bahwa terjadi peningkatan penyerapan pasar terhadap minyak sawit besertifikat lestari hingga 70%, Rosediana me-nyatakan bahwa hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Rosediana bahkan meyakini keputusan Gapki keluar dari RSPO tidak akan memengaruhi kinerja ekspor CPO Indonesia. “Meskipun banyak perusahaan di Eropa dan Amerika Serikat mengakui RSPO, tetapi ekspor CPO Indonesia tidak hanya ke sana.
Ekspor CPO kita ke dua zona ekonomi itu juga tidak banyak, jadi tidak akan berpengaruh,”ujarnya. Terpisah,anggota Komisi IV DPR I Made Urip mengatakan, keluarnya Gapki dari RSPO disebabkan adanya berbagai kebijakan dan regulasi yang tidak berimbang dan kurang aspiratif terhadap kepentingan produsen. “Sebelum keluar mereka pasti sudah hitung untung ruginya.
Misalnya ada boikot dari Eropa,apakah tanpa menjadi anggota RSPO kita mampu menghadapi itu?”kata Made. Made menyatakan, dalam memasuki pasar global, pengusaha sawit tidak bisa bermain sendiri. Harus ada komunikasi dan kerja sama yang terjalin dengan negara lain, serta dukungan dari regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah.
Dia yakin, jika posisi Indonesia sudah kuat, maka keluarnya Gapki dari keanggotaan RSPO tidak akan menimbulkan masalah. “Karena itu, Gapki juga harus memperkuat kerja sama dengan para produsen minyak sawit dari negara-negara lain, terutama dari Malaysia untuk bersama-sama menghadapi tekanan-tekanan para pembeli maupun pemerintah dari negara industri maju,”ujarnya.
Made pun mendukung komitmen asosiasi tersebut untuk mendorong terwujudnya ISPO sebagai platform sustainability di Indonesia yang bersifat wajib. Komitmen itu sangat penting karena masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera dikerjakan agar ISPO dapat diakui dan diterima secara internasional.
Sumber : Seputar Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar